Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah sebaiknya meniadakan persyaratan melampirkan dokumen kesehatan baik tes cepat (rapid test) maupun uji pangkal tenggorokan dan hidung (swab) lewat metode PCR ketimbang melonggarkan dengan memperpanjang masa berlaku hasil tes keduanya menjadi 14 hari.
Pemerhati penerbangan yang juga anggota Ombudsman Alvin Lie menjelaskan tidak ada negara lainnya yang mewajibkan tes bagi warganya yang hendak bepergian. Menurutnya, jika memang tujuan pemerintah agar masyarakat tetap merasa aman dalam bepergian lebih baik test dilakukan berkaca pada strategi yang dilakukan oleh Korea Selatan.
Negeri Ginseng, sebutnya, melakukan tes masif bagi warganya berdasarkan domisili per wilayah untuk mempermudah pelacakan Covid-19. Alhasil, Alvin menilai saat ini di Indonesia hasil tes hanya sebagai syarat bepergian tak akan bermanfaat tanpa dibarengi dengan upaya pelacakan.
“Saya melihat tidak terlalu ada manfaatnya [dokumen kesehatan]. Indonesia yang memberlakukan tes untuk orang yang bepergian. Kita lihat negara mana yang mensyaratkan. Kemudian rapid test disamakan 14 hari dengan PCR. Rapid test tidak menjamin kalau seseorang tidak terinfeksi, selalu ada disclaimer,” jelasnya, Senin (29/6/2020).
Dia berpendapat langkah pemerintah menyamakan hasil tes cepat dengan PCR menjadi tidak relevan. Hal itu dikarenakan tes cepat mengandung resiko lebih besar dibandingkan dengan PCR. Menurutnya kendati hasil tes cepat yang dilakukan pada tes pertama menunjukkan non reaktif, tetap ada kemungkinan belum terbentuknya antibodi (masih dalam inkubasi) atau pasien.
Selain itu, hasil rapid test wajib diulang dengan pengambilan sampel ulang dalam rentang 7 hari hingga 10 hari. Artinya dokumen kesehatan hanya menjadi potret sesaat dan tidak menjamin orang tersebut akan tetap dalam kondisi yang sama dengan hasil tes yang telah dilakukan.
Baca Juga
“Memang tidak ada gunanya. Sekarang ini juga tiap hari berapa ribu penumpang bus hilir mudik lintas Jawa. Mereka juga bisa lolos tanpa rapid test. Selain itu juga tidak ada bukti ilmiah penumpang pesawat domestik jauh lebih berisiko daripada penumpang bus,” tekannya.