Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengembangan Perumahan & Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengatakan bahwa subsidi perumahan yang diberikan pemerintah bisa menguntungkan bagi semua pihak kalau prosesnya tidak memakan waktu lama dan panjang.
Pernyataan Apersi tersebut keluar sebagai tanggapan kepada Bank Dunia yang menyebutkan bahwa sistem subsidi perumahan di Indonesia kurang efektif dan efisien, sehingga masih menyulitkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang membutuhkannya.
“Sebetulnya pembiayaan perumahan baik subsidi dalam skema FLPP [Fasilitasn Likuiditas Pembiyaan Perumahan] dan SSB [Subsidi Selisih Bunga], maupun subsidi uang muka pada skema BP2BT [Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan], menguntungkan bagi konsumen dan menjadi jalan untuk mengurangi backlog perumahan di Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal DPP Apersi Daniel Djumali kepada Bisnis, Minggu (28/6/2020).
Namun, kenyataannya di lapangan, para pengembang kesulitan untuk merealisasikan akad kredit pemilikan rumah (KPR) rumah subsidi di bank penyalur. Hal itu yang kemudian jadi merugikan konsumen rumah subsidi untuk bisa memperoleh rumah yang dibutuhkan dan diidamkan.
Hal ini juga bisa mengganggu stabilitas perekonomian nasional di sektor perumahan. Pasalnya, sektor perumahan, terutama segmen perumahan menengah bawah dan subsidi berdampak pada sekitar 170 sektor industri lainnya.
Industri perumahan menengah dan menengah bawah yang bisa terus berjalan, menurut Daniel, cukuo isa membantu aliran dana pengembang dan penyerapan tenaga kerja yang besar, terutama pada masa pandemi Covid-19 yang masih belum juga kelihatan ujung akhirnya.
“Saat ini diperlukan segera solusi percepatan dan relaksasi realisasi akad KPR rumah subsidi untuk mengatasi kendala yang terjadi di lapangan, agar tidak menjadi hambatan bagi perekonomian nasional,” ujarnya.
Apersi mengusulkan agar dapat mempercepat proses akad KPR antara lain bahwa perlu ada relaksasi terhadap Peraturan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengenai prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang diwajibkan terbangun 100 persen dan diwajibkannya terpasang tiang listrik dari pihak PLN.
“Padahal kendala ini muncul dari pihak PLN, terkait tidak tersedianya tiang listrik, serta juga mengenai terpasangnya fasilitas air. Ini menghambat pelaksanaan realisasi akad KPR bagi MBR khususnya yang terkena dampak pandemi Covid-19,” jelasnya.
Selain itu, menurutnya, diperlukan pula relaksasi dan percepatan terhadap lamanya waktu proses, termasuk karena banyaknya surat persetujuan kredit dari bank pelaksana, sehingga berdampak terhadap arus kas pengembang yang harus membayar pemasok material, angsuran atau bunga bank, tenaga kerja dan lainnya.
Dia melanjutkan, adanya relaksasi terhadap segmen konsumen MBR pekerja kontrak, honorer atau wiraswasta tertentu juga dibutuhkan. Percepatan ini juga perlu didukung Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) yang sudah bekerja sama dengan perbankan untuk mempermudah pengajuan KPR melalui aplikasi yang telah dibuat, SiKasep dan SiKumbang.
Adapun, menanggapi usulan Bank Dunia untuk menggencarkan skema BP2BT, Daniel mengatakan tetap perlu ada relaksasi dan percepatan.
“Karena setelah lamanya proses surat persetujuan kredit dari bank pelaksana untuk terbit, masih perlu tambahan waktu sekitar 1-2 bulan menunggu persetujuan dari satker BP2BT, sehingga waktu realisasi akad KPR BP2BT menjadi jauh lebih lama,” katanya.
Selain itu, besaran dan waktu pencairan subsidi uang muka hingga Rp32,4 juta juga dinilai belum memadai bagi angsuran dengan bunga pasar sepanjang waktu tenor.
Terdapat pula kendala besaran uang muka minimal 5 persen, batas penghasilan pokok tidak melebihi Rp6,5 juta per bulan bagi rumah tapak dan bukan Rp8 juta, dan ketentuan mempunyai tabungan di bank dengan batasan saldo periode minimal enam bulan terakhir dan bukan tiga bulan.
“Hal ini menjadi sebab kurang diminatinya skema BP2BT,” ungkapnya.
Sementara itu, menurut Daniel, jika sudah direlaksasi, BP2BT akan sangat cocok bagi konsumen terutama dari kalangan wiraswasta dan tenaga kerja sektor informal.
Adapun, mengenai kualitas, yang disebut Bank Dunia masih kurang memadai. Daniel mengatakan bahwa rata-rata pengembang akan menjaga kualitas meskipun rumah yang dibangun harganya murah.
“Sekarang kalau yang tidak jaga kualitas pasti ditinggal konsumennya,” imbuhnya.