Bisnis.com, JAKARTA — Sektor properti dinilai tidak akan begitu cepat pulih meskipun ada katalis positif berupa pelonggaran pembatasan sosial dan jelang fase kenormalan baru atau new normal.
Alasannya, pemulihan sektor properti dipengaruhi sejumlah faktor lain salah satunya adalah dukungan stimulus yang bisa membuat sektor ini terus bergerak.
Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute (JPI) Wendy Haryanto mengatakan bahwa pasar properti sebetulnya sudah cenderung menurun sebelum adanya virus corona baru atau Covid-19. Namun, penurunan makin parah ketika Covid-19 melanda dan belum teratasi. Dia menyangsikan bisnis ini pulih dalam 6 bulan ke depan.
"Diperkirakan semester kedua tidak akan terlihat pemulihan di sektor properti," ujar Wendy kepada Bisnis, Rabu (24/6/2020).
Dia mengatakan bahwa belakangan ini, para pengembang juga telah menanggung beban dari sisi pengeluaran. Pada saat yang bersamaan, penjualan tak terserap secara maksimal. Pengembang pun kemungkinan banyak mengeluarkan biaya lain untuk menggenjot pemasaran mengingat aktivitas penjualan terbatas meskipun saat ini pendekatan bisa melalui sarana digital.
Dia memandang bahwa sektor properti membutuhkan stimulus lain untuk mengakselerasi pemulihan dengan cepat sejalan dengan pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 4,25 persen yang juga menjadi hal positif untuk membantu arus kas. Hanya saja, upaya tersebut dinilai belum cukup untuk mendorong pemulihan di sektor ini.
"Untuk pemulihan yang cukup cepat, dibutuhkan beberapa stimulus yang dapat segera dijalankan, salah satunya adalah penurunan NJOP [nilai jual objek pajak], percepatan perizinan, pengurangan peraturan pembangunan, dan lainnya," ujar Wendy.
Di sisi lain, peluang sektor properti untuk beberapa waktu ke depan sebetulnya masih terbuka. Beberapa segmen selain rumah tapak tetap potensial. Hanya saja, semua itu kembali lagi pada strategi pengembang salah satunya terkait dengan segmen apa yang hendak disasar.
"Apartemen murah dekat dengan stasiun transportasi massal, ukuran kecil, dan harga terjangkau akan amat diminati," tuturnya.
Terkait dengan stimulus, DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) juga sebelumnya menyampaikan bahwa pihaknya meminta relaksasi di bidang perpajakan yang dinilai bisa menyelamatkan industri properti di tengah adangan pandemi corona.
REI di antaranya meminta penurunan pajak penghasilan final transaksi dari 2,5 persen menjadi 1 persen berdasarkan nilai aktual transaksi bukan berdasarkan NJOP. Kemudian, peninjauan kembali pajak penjualan atas barang mewah dan pajak pertambahan nilai.
Lalu, penghapusan atau keringanan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak penerangan jalan umum, tidak ada kenaikan NJOP serta relaksasi lainnya.