Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali merevisi defisit APBN ke level 6,34 persen atau setara Rp 1.039,2 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB) dari sebelumnya Rp1.028,5 triliun
Pengamat ekonomi Perbanas Institute Piter Abdullah mengatakan pelebaran defisit APBN tidak dapat dihindari selama periode pandemi virus Corona.
Dia menyebutkan ada dua faktor yang membuat defisit kian melebar. Pertama, penerimaan negara anjlok karena perekonomian terhenti akibat wabah Covid-19.
"Kedua, pemerintah harus meningkatkan belanja sebagai stimulus bagi perekonomian. Alokasi stimulus yang semula Rp405 triliun harus ditingkatkan hingga lebih dari Rp 600 triliun," katanya ketika dihubungi, Rabu (3/6/2020).
Dia menuturkan kombinasi dari penurunan penerimaan dan meningkatnya belanja, khususnya untuk kebutuhan bantuan sosial dan pemulihan ekonomi nasional (PEN), membuat pemerintah tidak bisa menghindari pelebaran defisit anggaran.
Meski demikian, Piter mengungkapkan pelebaran defisit bukan isu besar. Pasalnya, meningkatnya defisit anggaran terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi banyak negara di dunia.
Baca Juga
Menurutnya, defisit yang bakal dialami Indonesia sekitar 6,34 persen masih terlalu kecil. "Apalagi rasio utang pemerintah saat ini masih sangat rendah," jelasnya.
Justru, dia mengingatkan isu besar yang dihadapi Indonesia di masa pandemi Covid-19, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi bisa berujung pada resesi atau bahkan krisis ekonomi.
Oleh karena itu, dia mengatakan banyak negara justru melebarkan defisit APBN untuk memberikan stimulus ekonomi demi mencegah terjadinya resesi atau krisis.
"Pelebaran defisit lebih baik ketimbang terjadi resesi atau krisis ekonomi karena bisa memakan korban jutaan masyarakat miskin," imbuhnya.
Pemerintah menyiapkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) No.54/2020 untuk menampung perubahan struktur fiskal yang digunakan untuk penanganan dampak pandemi Corona atau Covid-19.
Perpres Nomor 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020. Perpres tersebut dikeluarkan Istana berdasarkan Perppu No 1 Tahun 2020.
Menkeu Sri Mulyani menambahkan perubahan Perpres ini diperlukan karena adanya sejumlah pergerseran dari tiga komponen utama APBN mulai dari penerimaan, belanja, dan pembiayaan.
Data Kemenkeu menunjukkan total outlook belanja APBN tahun 2020 mencapai Rp2.738,4 triliun atau lebih tinggi Rp124,5 triliun dari outlook Perpres No.54/2020. Angka per 2 Juni ini juga lebih tinggi skema outlook belanja negara yang kedua yakni Rp2.720,1 triliun.