Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta untuk mengkaji rencana pemberian subsidi untuk kelanjutan program biodiesel 30 persen.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, dengan harga indeks pasar (HIP) pada Mei 2020, sebelum ongkos angkut, dengan harga rata-rata BBM, dia memperkirakan ada selisih sekitar Rp4000 per liter antara biodiesel dan solar.
Dengan semakin besarnya selisih tersebut maka beban subsidi yang harus ditanggung oleh Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bertambah besar.
"Jika harga BBM rata-rata US$40 per barel sepanjang tahun ini dengan harga CPO di bawah US$520 per ton maka kami perkiraan BPDPKS akan mengalami defisit pada akhir tahun ini," katanya kepada Bisnis, Kamis (14/5/2020).
Lebih lanjut, Fabby berpendapat konsep awal program B30 tersebut tidak disubsidi oleh pemerintah tapi oleh pelaku usaha minyak sawit.
Menurut dia, pemerintah memiliki target yang ambisius dengan mendorong B30 lebih cepat sehingga biaya yang diperlukan untuk memberikan subsidi menjadi sangat besar.
Padahal, harga minyak sawit di pasar dunia juga anjlok di bawah batas minimum untuk dilakukannya pungutan ekspor minyak sawit. Akibatnya, BPDPKS mengalami defisit karena dana dari pungutan sawit tidak dapat dilakukan tahun lalu dan awal tahun ini sejak Maret lalu.
Fabby menilai seharusnya subsidi pemerintah diberikan kepada energi terbarukan yang lain. Dalam kondisi harga minyak yang sangat rendah dan harga CPO yang turun, seharusnya pemerintah menunda pelaksanana B30.
Hal penundaan program biodiesel dilakukan juga oleh Malaysia karena harga BBM yang sangat rendah.
"Saya khawatir dengan harga minyak yang diperkirakan masih berada di bawah US$50 per bbl tahun depan, dan harga CPO yang rendah maka pemerintah akan diminta untk mensubsidi terus," ungkapnya.
Berdasarkan data Kemenkeu yang diperoleh Bisnis.com, terdapat kebutuhan subsidi gap antara HIP BBN dengan HIP BBM.
Adapun, harga referensi CPO Mei pada level US$635,15 per ton, sehingga pungutan ekspor CPO sebesar US$50 per metrik ton dan BK CPO sebesar US$0 per ton.
Dengan tren saat ini, diperkirakan rata-rata subsidi gap antara HIP BBN dengan HIP BBM sebesar Rp3,732 per liter.