Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BPH Migas: Realisasi BBM Tahun Ini Bakal Turun

BPH Migas memproyeksikan adanya penurunan realisasi bahan bakar minyak (BBM) tahun ini karena dampak pandemi Covid-19.
Aktifitas pengisian truk tangki untuk distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Depo BBM Pertamina di Plumpang, Jakarta, Senin (4/5/2020). Bisnis/Dedi Gunawan
Aktifitas pengisian truk tangki untuk distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Depo BBM Pertamina di Plumpang, Jakarta, Senin (4/5/2020). Bisnis/Dedi Gunawan

Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memproyeksikan penurunan realisasi bahan bakar minyak (BBM) tahun ini karena dampak pandemi Covid-19.

Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa mengatakan bahwa selama masa pandemi Covid-19 daya serap BBM di Indonesia mengalami pelemahan. Adapun, pada tahun ini pihaknya memproyeksikan pelemahan pertumbuhan realisasi BBM sebesar 12,5 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Laju pertumbuhan realisasi Jenis BBM Tertentu (JBT) 2020 dibandingkan 2019 diproyeksikan 7,8 persen. Sementara laju pertumbuhan realisasi jenis bahan bakar minyak khusus penugasan (JBKP) 2020 dibandingkan dengan 2019 terkoreksi -15,3 persen. Selain itu, laju pertumbuhan jenin BBM umum (JBU) 2020 dibandingkan dengan 2019 akan lebih rendah 13,4 persen.

"Kalau tidak segera Covid-19 ini kalau sampai akhir tahun maka dampak perekonomian sangat besar pertumbuhan ekonomi sangat minimal," paparnya pada Jumat (8/5/2020).

Dia menambahkan, PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha yang menyalurkan BBM sebanyak 75 persen mencatatkan penurunan konsumsi. Adapun, hingga saat ini konsumsi BBM Pertamina melemah hingga 30 persen karena pemberlakukan pembatsan sosial skala besar (PSBB) di beberapa kota di Indonesia.

Selain itu, banyaknya pelaku industri yang menghentikan kegiatan operasionalnya menambah tekanan untuk konsumsi BBM Pertamina. "Pertamina saja demand-nya turun sampai 30 persen lebih, untuk Jakarta dan sekitarnya turun 50 persen penjualan bbm-nya," ungkapnya.

Kendati demikian, BPH Migas memastikan badan usaha penyalur BBM tetap beropeasi selama masa PSBB diberlakukan. BPH Migas meminta para badan usaha penyalur BBM untuk tetap memerhatikan protokol kesehatan.

Kami sudah meminta kepada Pertamina kalau bisa pembayaran tidak cash tapi e-money," jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut rata-rata konsumsi BBM nasional turun 26,4 persen. Adapun, rata-rata konsumsi BBM jenis bensin turun 29,8 persen dibandingkan dengan rata-rata konsumsi normal, sedangkan konsumsi BBM jenis solar turun 18,7 persen dibandingkan dengan rata-rata konsumsi normal.

"Turunnya konsumsi operating cost terdampak menjadi lebih tinggi saat ini disamping melemahnya kurs memberikan pukulan telak kepada badan usaha," jelasnya.

PT Pertamina (Persero) mencatat pada April 2020 rata-rata harian sales gasoline dan gasoil retail turun sebesar 24 persen dibandingkan dengan kondisi normal, sedangkan prognosa untuk tahun ini diperkirakan turun hingga 20 persen

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan, sebesar 70 persen pendapatan perseroan dikontribusikan oleh volume penjualan di sektor hilir, sedangkan untuk profit sebesar 80 persen dikontribusikan dari hulu. Dengan kondisi pelemahan harga minyak dunia dan pelemahan konsumsi nasional membuat kinerja Pertamina bakal tertekan sepanjang tahun ini.

Pertamina memperkirakan kehilangan potensi keuntungan hingga 51 persen atau sekitar US$1,12 miliar dari rencana kerja dan anggaran (RKAP) 2020. Berdasarkan RKAP Pertamina, target laba tahun ini dipatok US$2,2 miliar dan pendapatan mencapai US$58,33 miliar.

Nicke Widyawati mengatakan selain pendapatan tergerus, profi Pertamina bakal tergerus lebih dalam lagi. Pasalnya, ada kerugian selisih kurs yang harus dimasukkan.

“Kami Capex dan Opex menggunakan dolar Amerika Serikat, sementara penerimaan [banyak] menggunakan rupiah,” katanya.

Potensi hilangnya laba Pertamina, mengacu dua skenario yang ditetapkan Pertamina dengan mempertimbangkan ICP dan kurs dolar Amerika Serikat.

Mengacu skenario pertama, pendapatan perseroan berpotensi turun US$22,17 miliar menjadi US$36,16 miliar. Sementara mengacu skenario kedua, potensi penurunan pendapatan lebih besar yakni mencapai US$26,25 miliar atau menjadi US$32,08 miliar.

“Untuk skenario sangat berat, maka profit akan berkurang 51 persen. itu dengan asumsi yang sudah ditetapkan pemerintah. Cashflow lebih berat lagi krn kita banyak berikan fasilitas kredit ke pelanggan karena semua pihak kesulitan cashflow,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhammad Ridwan

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper