Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Berkontribusi Besar, Kinerja Manufaktur Harus Lebih Baik

Pemerintah pun bertekad memacu kinerja sektor industri agar terus mendorong roda perekonomian, tetapi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan di tengah pandemi virus corona.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam dalam sebuah paparan kinerja industri. Istimewa/Kemenperin
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam dalam sebuah paparan kinerja industri. Istimewa/Kemenperin

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian menilai kontribusi industri pengolahan masih menjadi yang terbesar terhadap struktur produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 19,98 persen pada kuartal I/2020.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan pemerintah telah melakukan pemetaan kepada sektor-sektor industri yang terpukul karena pandemi Covid-19.

Pemerintah pun bertekad memacu kinerja sektor industri agar terus mendorong roda perekonomian, tetapi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

"Dari banyaknya sektor yang terimbas, ada beberapa sektor yang tetap memiliki permintaan tinggi yang bisa memperkuat neraca perdagangan," katanya melalui siaran pers, Selasa (5/5/2020).

Khayam mengemukakan pemetaan tersebut mulai dari sektor industri kecil, menengah sampai skala besar. Secara ringkas, 60 persen dari industri terpuruk, 40 persennya adalah insustri yang moderat dan demand tinggi.

Menurut Khayam hal itu tentu juga akan menyebabkan pertumbuhan industri tertekan ke depan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri pengolahan nonmigas berada di angka 2,01 persen sepanjang kuartal I/2020. Alhasil, dampak pada laju perekonomian nasional pun hanya mampu tumbuh 2,97 persen.

Meski demikian, sejumlah negara mitra dagang Indonesia juga ikut terkontraksi sebagai akibat adanya pembatasan aktivitas dan lockdown untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. Misalnya, China yang pertumbuhan ekonominya merosot hingga -6,8 persen pada kuartal I-2020. Selanjutnya, Amerika Serikat 0,3 persen, Singapura -2,2 persen, Korea Selatan 1,3 persen, Hongkong -8,9 persen, dan Uni Eropa -2,7 persen.

Khayam menyebut sektor manufaktur yang masih memiliki permintaan cukup tinggi di pasar, yakni industri makanan dan minuman. Selain itu, industri yang terkait dengan sektor kesehatan, seperti industri alat pelindung diri (APD), industri alat kesehatan dan etanol, industri masker dan sarung tangan, serta industri farmasi dan fitofarmaka.

Masih merujuk laporan BPS, beberapa sektor industri pengolahan nonmigas yang masih memcatatkan kinerja positif sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, di antaranya adalah industri kimia, farmasi dan obat tradisional yang tumbuh 5,59 persen, kemudian industri alat angkutan 4,64 persen serta industri makanan dan minuman 3,94 persen.

Sementara itu, sektor yang terpukul paling parah oleh dampak pandemi virus corona, meliputi industri otomotif, logam, kabel dan peralatan listrik, semen, keramik, kaca, karet, mesin, alat berat, elektronika dan peralatan komunikasi, tekstil, serta mebel dan kerajinan.

"Adapun sektor yang terdampak moderat, di antaranya adalah industri petrokimia, industri plastik, dan industri pulp,” kata Khayam.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menilai turunnya Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia karena merosotnya daya beli masyarakat selama pandemi (Covid-19). Berdasarkan rilis dari IHS Markit, PMI manufaktur Indonesia periode April 2020 berada di level 27,5.

“Ekonomi kita khususnya sektor industri manufaktur sangat tergantung dari kemampuan pasar dalam negeri atau konsumsi domestik. Assessment kami sekitar 70 persen hasil produksi industri manufaktur diserap pasar dalam negeri,” kata Agus.

Alhasil, lanjut Agus, ketika daya beli masyarakat tertekan, hal itu berdampak terhadap minimnya permintaan pasar. Secara otomatis perusahaan atau industri harus melakukan penyesuaian, termasuk penurunan drastis utilisasinya.

Belum lagi dikaitkan dengan supply chain dari industri turunannya yang banyak tergantung dari industri besar atau industri induknya, pasti juga akan memukul supply chain tersebut.

Menurut Agus kebutuhan dan ketersediaan bahan baku juga menjadi kendala, karena dikaitkan dengan demand yang ada. Selain itu, indeks manufaktur yang menurun juga disebabkan oleh pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah.

"Variabel penjualan dan input manufaktur kita 74 persen impor dan dengan tambahan tekanan kurs maka beban input meningkat. Akibatnya, output menurun signifikan,” ujarnya.

Namun demikian, Agus optimistis kegiatan industri akan segera normal bila Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dicabut nanti. Industri manufaktur akan bergairah lagi, seperti PMI yang 51,9 pada Februari lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper