Bisnis.com, JAKARTA - Komisi VII DPR akhirnya menggelar rapat kerja bersama Kementerian ESDM membahas sejumlah kebijakan yang berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
Berdasarkan Surat Pimpinan DPR RI No. PW/05218/DPR RI/IV/2020 perihal undangan rapat, Kementerian ESDM akan melakukan rapat kerja melalui video conference dengan Komisi VII, Senin (4/5/2020) siang.
Setidaknya ada tiga topik rapat yang diulas dalam rapat kerja ini, antara lain soal tarif listrik bagi pelanggan rumah tangga 1.300 voltampere (VA) dan penyesuaian harga bahan bakar minyak.
Selain itu, dibahas juga soal PNBP subsektor migas dan implementasi ESDM No.8/2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Sebelumnya, DPR telah melakukan rapat dengar pendapat dengan sejumlah badan usaha milik negara di bidang energi dan SKK Migas. Dalam rapat-rapat tersebut, tiga topik yang akan dibahas dalam rapat kerja kali ini, telah lebih dulu muncul dalam bentuk pertanyaan Komisi VII DPR.
Salah satunya soal penyesuaian harga BBM. Dengan menurunnya harga minyak dunia dan perubahan formula harga BBM umum, DPR RI mempertanyakan pilihan pemerintah yang tidak juga melakukan penyesuaian harga.
Baca Juga
Dewan Perwakilan Rakyat akan menggelar pertemuan dengan pemerintah untuk membahas penurunan harga bahan bakar minyak.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menjelaskan dengan anjloknya harga minyak dan juga kemungkinan krisis ekonomi dunia akibat wabah virus Covid-19, maka harga BBM berpotensi untuk diturunkan.
“Dalam waktu dekat Komisi VII DPR akan menghitung ulang dengan cermat harga BBM subsidi maupun non subsidi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,” katanya kepada Bisnis, Kamis (2/4/2020).
Dia menjelaskan, kendati volatilitas harga minyak dunia masih tinggi, tapi hingga Juni 2020 harga minyak dunia diproyeksikan akan berada pada level US$25 per barel untuk jenis WTI, dan US$29 untuk jenis Brent.
Sugeng mengungkapkan, kisaran harga tersebut jelas sangat jauh dari harga yang dipatok dalam APBN tahun ini yakni sekitar US$62 per barel dan juga kurs rupiah terhadap dolar AS yang kini menyentuh Rp16.000 per dolar AS yang dalam APBN 2020 dipatok Rp14.000 per dolar AS.
Untuk itu, Sugeng mengatakan, harga BBM saat ini berpotensi untuk turun mengacu pada kedua hal tersebut. “Ya [berpotensi turun],” jelasnya.
Anggota Komisi VII DPR Sartono Hutomo mempertanyakan tentang harga BBM yang tak kunjung turun, padahal menurutnya pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, penetapan harga BBM disesuaikan dengan harga minyak dunia.
“Dengan nilai tukar rupiah tadi saya harapkan ke Pertamina harus adakan penjelasan, sampaikan ke masyarakat kenapa tidak tepat, disampaikan harga tidak turun terbuka jujur rakyat akan menerima itu,” katanya dalam rapat dengar pendapat Komisi VII, Selasa (21/4/2020).
Adapun terkait PNBP, Pemerintah memangkas target pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas untuk tahun ini mengacu oleh tertekannya harga minyak dunia.
Harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau ICP selama Maret 2020 tercatat menjadi US$34,23 per barel. Di sisi lain, harga minyak dunia terus menurun sejak awal tahun karena terjangkit Covid-19 yang membuat permintaan minyak dunia melemah.
Direktur PNBP Sumber Daya Alam (SDA) dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Kurnia Chairi mengatakan pihaknya terus memonitor dan menghitung ulang dampak merosotnya harga minyak dunia terhadap PNBP tahun ini.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020, PNBP dari sumber daya alam migas dipangkas menjadi Rp53,29 triliun dari target semula Rp127,32 triliun.
Selain itu, terkait topik tarif listrik pelanggan 1.300 VA, Yasasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kebijakan diskon tarif listrik akan lebih tepat sasaran apabila diberikan kepada pengguna listrik dengan sambungan daya 1.300 VA.
Sekretaris YLKI Agus Suyatno mengatakan bahwa jika pemberian diskon tarif listrik dengan pertimbangan dampak ekonomi dari pandemi Covid-19, kelompok konsumen yang tinggal di perkotaan seharusnya bisa menjadi lebih diprioritaskan.
Menurut dia, masyarakat tersebut lebih terdampak langsung karena aktivitas ekonominya terhenti, khususnya untuk pelaku UMKM yang mayoritas bekerja di rumah.
"Sejatinya yang sangat membutuhkan kompensasi dan dispensasi adalah kelompok konsumen perkotaan tidak hanya kelompok 900 VA, tetapi juga kelompok konsumen 1.300 VA, yang juga secara ekonomi sangat terdampak," katanya kepada Bisnis, Sabtu (2/5/2020).