Bisnis.com, JAKARTA - Manajemen Garuda Indonesia (GIAA) menyambut positif respons Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus. Deddy meminta Garuda agar berhati-hati dalam menetapkan solusi untuk menyelamatkan maskapai pelat merah tersebut.
Terkait kondisi Garuda, Deddy sempat menyampaikan keprihatinannya. Ia mempertanyakan biaya kelangsungan hidup Garuda sampai akhir tahun ini. Juga soal pembayaran utang SUKUK yang jatuh tempo. "Bukankah dua hal ini bisa mematikan Garuda dalam seketika?” ujar Deddy.
Irfan Setiaputra, Direktur Utama Garuda Indonesia mengatakan sangat berterima kasih atas saran dan atensi anggota DPR terhadap kondisi yang dialami maskapai kebanggaan Indonesia tersebut. Saran tersebut akan menjadi pegangan dalam aksi korporasi perusahaan ke depan.
"Kami sangat berterima kasih atas saran dan atensi anggota DPR. Kami jadikan pegangan dalam tindak lanjut aksi korporasi kami," ujar Irfan kepada Bisnis, Sabtu (2/5/2020).
Menurutnya sejumlah skenario yang telah disiapkan, hingga saat ini terus dikaji untuk mendapatkan solusi yang terbaik dan paling tepat. "Opsi yang ada itu lagi terus kami review," ujarnya.
Bahkan, lanjut Irfan, terkait usulan anggota dewan, yang menilai opsi paling rasional saat ini adalah pinjam dari bank BUMN juga dilakukan.
Saat ini, kata Irfan, Garuda Indonesia telah melakukan pembicaraan dengan sejumlah bank BUMN. Namun begitu dirinya masih enggan membeberkan progres terbarunya saat ini.
"Pembicaraan dengan beberapa bank BUMN sudah. Tapi belum ada yang bisa di-share infonya, termasuk akan ada berapa banyak bank BUMN yang terlibat," ujarnya.
Sebelumnya diketahui bahwa Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus, meminta pemerintah dan manajemen Garuda Indonesia berhati-hati menetapkan solusi untuk menyelamatkan maskapai kebanggaan Indonesia tersebut.
Menurut Deddy, kondisi Garuda Indonesia bisa semakin buruk karena dihantam dampak pandemi Covid-19 dan besarnya beban operasional serta utang yang harus dibayar.
Deddy mengatakan dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama anggota DPR, Rabu (29/4/2020), Direksi Garuda Indonesia menyampaikan kesulitan melangsungkan hidup perusahaan.
Penyebabnya adalah operasi yang terkendala pandemi Covid-19, biaya operasional tinggi, serta utang SUKUK yang jatuh tempo awal Juni 2020.
“Direksi memang bisa menjabarkan strategi perusahaan untuk memotong ongkos produksi, tapi ini efeknya jangka panjang. Garuda Indonesia perlu 'darah segar' (fresh fund) saat ini untuk menambal biaya operasional harian dan untuk melunasi utang SUKUK,” kata Deddy, melalui pernyataan tertulis, Sabtu (2/5/2020).
Anggota Fraksi PDI Perjuangan itu menyampaikan, berdasarkan keterangan direksi Garuda Indonesia, operasional tertinggi adalah biaya sewa pesawat.
Cara yang mungkin ditempuh untuk mengurangi beban itu adalah negosiasi ulang dengan lessor (aircraft leasing company), mengembalikan sebagian pesawat dengan utilisasi rendah, atau menjual pesawat yang tidak cocok untuk pasar Indonesia.
“Lalu bagaimana dengan biaya kelangsungan hidup Garuda sampai akhir tahun ini, ketika operasi masih belum pulih karena pandemi Covid-19? Bagaimana dengan pembayaran utang SUKUK yang jatuh tempo? Bukankah dua hal ini bisa mematikan Garuda dalam seketika?” ujar Deddy.
Deddy menjabarkan tiga opsi yang disiapkan Direksi Garuda untuk melunasi utang SUKUK yang jatuh tempo awal Juni 2020.
Pertama, mencari pinjaman dari bank (terutama bank pelat merah) untuk membayar SUKUK; kedua, memperpanjang jatuh tempo SUKUK; dan ketiga, membayar SUKUK dengan diskon.
Menurut Deddy, opsi paling rasional yang bisa ditempuh Garuda Indonesia adalah mencari pinjaman dari bank BUMN untuk membayar SUKUK. "Karena reputasi dan rating credit Garuda akan anjlok, serta biayanya tinggi jika menempuh perpanjangan jatuh tempo SUKUK," ujarnya.
Selain itu, opsi memperpanjang jatuh tempo biasanya memerlukan jaminan dari pemerintah, dan bondholder juga harus melakukan rapat pemegang bond yang saat ini sangat sulit dilakukan.
“Belum tentu juga pemegang SUKUK (bondholders) mau memperpanjang waktu pembayaran. Jika langkah ini dilakukan pasti akan cross impact ke BUMN lainnya, rupiah, dan tentunya pemerintah,” ungkap wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Utara tersebut.
Mengenai opsi membayar SUKUK dengan diskon seperti yang disampaikan direksi Garuda Indonesia, Deddy meragukan hal itu bisa tercapai. Pasalnya, tidak ada emiten SUKUK yang bisa membayar SUKUK dengan diskon.
“Mana mungkin bisa membayar SUKUK dengan harga diskon?” ungkap Deddy.
Kecuali, kata Deddy, jika SUKUK itu dijual di pasar sekunder dengan nilai diskon, itu pun hanya bisa ditentukan bondholder melalui mekanisme rapat pemegang bond, bukan ditentukan Garuda Indonesia. Selain itu, nilai diskon juga berpengaruh terhadap reputasi Garuda.
“Jika diskon mencapai 60-70 persen bisa dikategorikan Garuda gagal bayar SUKUK,” kata Deddy.
“Jika pun terpaksa, Garuda harus bisa membawa calon buyer dari SUKUK tersebut. Di sini Garuda harus transparan siapa calon buyer tersebut dan harus dibuka juga apa korelasi dan interest mereka dengan Garuda. Harus terang benderang,” ujar dia.
Saat memilih opsi mencari pinjaman dari bank pelat merah, lanjut Deddy, harus diantisipasi jangan sampai menjadi biaya tinggi bagi Garuda Indonesia (financing cost) dan risiko tinggi bagi bank pelat merah serta masih tetap diperlukan jaminan pemerintah.
“Manajemen Garuda dan Kementerian BUMN harus sangat hati-hati mencari solusi masalah ini. Banyak risiko yang bisa mengganggu likuiditas bank pelat merah, bisa merusak reputasi Garuda bahkan BUMN lain, dan bisa merusak rupiah bahkan kredibilitas Negara,” tuturnya.
Sementara itu, sebelumnya pada kesempatan terpisah, seperti diketahui bahwa Garuda Indonesia meminta negosiasi pembayaran dengan para pemegang surat utang sukuk global perseroan. Surat utang senilai US$500 juta itu akan jatuh tempo pada 3 Juni 2020.
Permintaan tersebut tercantum dalam surat perseroan kepada pemegang sukuk pada 29 April 2020. Perseroan meminta para pemegang sukuk untuk mengungkap nilai pokok kepemilikan masing-masing investor melalui agen identifikasi perusahaan.
Emiten bersandi saham GIAA itu telah menunjuk PJT Partners sebagai penasihat keuangan untuk membantu proses dialog tersebut. Perseroan akan membentuk komite diskusi bersama pemegang sukuk dan PJT Partners.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra saat itu membenarkan upaya diskusi dan negosiasi bersama para pemegang sukuk tersebut. Perseroan, lanjutnya, akan dibantu sepenuhnya oleh PJT Partners sebagai penasihat keuangan.
“Sudah ajukan konsultasi, PJT Partners yang akan bantu kami,” katanya kepada Bisnis, Jumat (1/5/2020).