Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah perlu mengantisipasi berkurangnya stok beras pada akhir tahun dengan cara menyiapkan skema impor.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan bahwa stok beras yang dinyatakan aman oleh pemerintah, perlu untuk diantisipasi untuk meminimalisasi kurangnya stok di pasar, utamanya untuk memenuhi peningkatan permintaan saat Ramadan dan Idulfitri, yang terancam menipis di akhir tahun 2020
Adapun per 17 April 2020, jumlah beras yang saat ini ada di seluruh gudang Perum Bulog (Persero) tercatat mencapai mencapai 1,41 juta ton.
Jumlah tersebut terdiri dari 1,03 juta ton cadangan beras pemerintah (CBP) dan 56.000 ton beras komersial.
Neraca perdagangan beras juga diperkirakan akan surplus pada April 2020, salah satunya disebabkan oleh musim panen yang tengah berlangsung di dalam negeri.
Akan tetapi, memasuki akhir 2020, titik kritis ketersediaan beras diperkirakan akan terjadi dikarenakan produksi beras pada musim panen kemarau yang hanya mencapai 35 persen dari total produksi nasional dalam setahun.
Baca Juga
Jika melihat data BPS, produksi beras pada Januari-April 2020 ada pada kisaran 10,84 juta ton, jumlah ini turun dari data pada bulan yang sama di tahun 2019, di mana saat itu produksi beras mencapai 13,62 juta ton.
Untuk mengantisipasi hal ini, lanjut Galuh, pemerintah idealnya perlu mempertimbangkan untuk impor beras.
Selain impor, pemerintah juga perlu melakukan diversifikasi negara asal impor beras. Pandemi Covid-19 pun membuat sejumlah negara produsen beras memberlakukan kebijakan baru, seperti menangguhkan kontrak baru untuk impor beras dan menutup kegiatan di pelabuhan demi mempertimbangkan cadangan beras nasional mereka.
Diversifikasi negara asal impor, lanjut Galuh, penting dilakukan menjaga ketersediaan beras di pasar. Beberapa hal yang berpotensi mengancam ketersediaan beras selama pandemi Covid-19 antara lain adalah potensi hasil panen yang tidak maksimal, di tengah kondisi negara-negara pengekspor beras seperti Vietnam yang sudah menutup aksesnya.
“Negara-negara yang sudah menjadi langganan impor beras Indonesia juga terpaksa untuk menghentikan kegiatan ekspornya. Untuk itu, pemerintah jangan sampai telat melakukan impor. Proses panjang yang harus dilalui untuk dapat mengimpor beras juga harus menjadi pertimbangan,” ungkapnya, seperti dikutip dari siaran pers, Kamis (30/4/2020).
Penundaan impor dapat diminimalisir dengan mempermudah dan menyederhanakan mekanisme impor itu sendiri, seperti dengan automatic licensing system bagi para importir dalam negeri.
Kebijakan lain yang dapat dipertimbangkan adalah pembukaan akses bagi para importir non BUMN untuk bisa mengimpor beras, tentu saja bagi mereka yang sudah terbukti memiliki track record yang baik sebagai importir, memiliki kapasitas dalam melaksanakan tugasnya dan memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan pemerintah.
Galuh menambahkan bahwa impor beras di waktu yang tepat dapat berpengaruh pada kestabilan harga beras di pasar. Harga akan relatif lebih stabil dan tidak mengalami lonjakan yang signifikan.
Panen yang sedang berlangsung pun harus dimaksimalkan dengan sebaik mungkin, terutama bagi daerah-daerah penghasil beras di Indonesia.
Saat ini, menurutnya, perlu informasi yang jelas mengenai jumlah produksi beras masing-masing antara daerah satu dan lainnya karena tidak ada satupun daerah yang dapat memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri.
Selain itu, stok beras yang adapun harus benar-benar dimaksimalkan dari sisi distribusinya. Pandemi Covid-19 tidak hanya menghambat proses produksi, tapi juga distribusi. Penerapan PSBB dan karantina wilayah parsial di beberapa daerah di Indonesia tentu akan memengaruhi kelancaran akses transportasi.
Walaupun secara jelas di peraturan PSBB haruslah mengecualikan distribusi pangan, tetapi kondisi di lapangan kadang tidak sejalan dengan peraturannya.