Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi pengembang menyatakan bahwa saat ini para pengembang hunian bersubsidi tengah dihadapi kondisi sulit terkait arus kas yang tidak stabil akibat terhambatnya akad kredit karena adanya virus corona jenis baru atau Covid-19.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengakui bahwa pihaknya saat ini lebih sulit dalam melakukan akad.
Padahal, kata Daniel, akad kredit atau akad penjualan merupakan sumber pendapatan pengembang di tengah anjloknya penjualan properti di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini.
Meskipun, dia menyatakan telah ada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 11/POJK.03/2020 yang berisi tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19.
Hanya saja, menurutnya, POJK itu belum mengatur secara jelas terkait dengan petunjuk pelaksanaan mengingat semua keputusan tentang restrukturisasi kembali pada kebijakan tiap-tiap bank.
"Jadi sebetulnya selain dengan restrukturisasi, pemerintah bisa bantu sektor perumahan dengan mempermudah akadnya tanpa melupakan kehati-hatian bank," katanya pada Bisnis, Senin (27/4/2020).
Dia menyatakan pengembang kelas menengah bawah merasakan kesulitan melakukan akad karena perbankan membatasi hanya dua atau tiga kali dalam sehari. Padahal, potensi akad dalam sehari bisa sebanyak 20 unit.
Tak hanya itu, pengembang hunian bersubsidi juga sudah terbebani dengan adanya persyaratan yang banyak baik dari Kementerian PUPR dan bank pelaksana. Dia mengaku bahwa persyaratan itu bertambah tiap tahunnya.
"Selain kesulitan persyaratan, BPN juga belum bisa menerima berkas baru, validasi pajak pun tak bisa, akad sekarang bank-bank dibatasi hanya boleh 6 orang. Nah, sekarang kalau kita mau 30 unit malah harus lima kali [proses], enggak bisa sekaligus. Jadi makin mempersulit untuk akad KPR," katanya.
Untuk itu, Daniel menyarankan agar adanya terobosan dari para pihak terkait untuk mempemudah proses akad kredit bagi masyarakat berpengasilan rendah. Dia mengingatkan bahwa pengembang yang terganggu arus kasnya perlu dicarikan jalan keluar.
"Misalnya, bayar BPHTB tanpa validasi dulu karena ada patokannya kalau rumah sederhana kan gampang, dan BPN proses pemecahan sertifikat dan IMB mesti dibikin digital bagaimana caranya. Ini kan dibikin aturan tapi kok enggak dibuat jalan keluarnya," tutur dia.