Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Perlu Hati-Hati Memprioritaskan Anggaran Insentif Virus Corona

Kian lama masa pandemi berlangsung, makin besar pula anggaran negara yang harus dirogoh untuk memitigasi dampak lintas sektor dari wabah tersebut.
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Sekretaris Kabinet Pramono Anung (kanan) sebelum memimpin rapat terbatas tentang insentif investasi di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (20/2/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Sekretaris Kabinet Pramono Anung (kanan) sebelum memimpin rapat terbatas tentang insentif investasi di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (20/2/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan pengusaha menilai dana untuk insentif selama masa pandemi COVID-19 harus dieksekusi secara cermat agar tidak justru berujung pada pemborosan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Terlebih, tidak ada yang tahu persis kapan pandemi virus corona akan berakhir. Kian lama masa pandemi berlangsung, makin besar pula anggaran negara yang harus dirogoh untuk memitigasi dampak lintas sektor dari wabah tersebut.

Untuk itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengemukakan tiga kriteria kebijakan prioritas yang disarankan oleh pelaku usaha kepada pemerintah, agar alokasi anggran selama pandemi tidak berakhir sia-sia. 

Pertama, anggaran untuk penanganan dan pengendalian Covid-19.

“Ini jelas harus menjadi prioritas utama, bukan hanya karena banyak orang yang menjadi korban, tetapi karena masalah ekonomi Indonesia bersumber dari penyebaran wabah yang belum terkendali,” tegasnya saat dihubungi, Kamis (16/4).

Dengan demikian, lanjutnya, untuk menghentikan masalah sosial ekonomi selama pandemi, respons kebijakan pemerintah harus difokuskan untuk menanganan wabah, khususnya dalam hal pengadaan layanan kesehatan dan implementasi kebijakan pencegahan penyebaran wabah

Kedua, anggaran untuk pengeluaran jaring pengaman sosial, terutama guna melindungi daya beli masyarakat menengah-bawah sepanjang masa pandemi.

“Ini karena kegiatan ekonomi menjadi sangat terbatas sepanjang [masa] wabah, sehingga pendapatan masyarakat—khususnya kelas pendapatan menengah bawah—menjadi tertekan, bahkan hilang,” jelasnya.

Tanpa akurasi pengadaan bantuan sosial yang memadai, sambung Shinta, masalah kemiskinan dan pengangguran akan meningkat tajam sehingga potensi terjadinya gejolak sosial menjadi tinggi dan akan menjadi masalah yang justru sulit dikendalikan pemerintah.

Selain itu, sebutnya, ketiadaan bantuan sosial yang tepat sasaran akan memicu masalah sistemik pada ekonomi nasional karena faktor utama pendorong pergerakan ekonomi Indonesia adalah konsumsi dalam negeri.

Ketiga, anggaran untuk mendukung kebutuhan pergerakan ekonomi pelaku usaha, khususnya dalam hal memberikan ruang finansial bagi perusahaan agar kegiatan ekonomi tetap bergerak senormal mungkin sepanjang masa pandemi.

“Ini perlu dilakukan dari dua sisi, yakni sisi pembebanan biaya di perusahaan dan sisi penerimaan perusahaan. Anggaran sebaiknya dialokasikan untuk meringankan beban-beban biaya yang harus ditanggung perusahaan selama beroperasi sepanjang wabah,” tuturnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bentuk dukungan anggaran bagi dunia usaha tersebut bisa dieksekusi melalui penurunan beban pajak, beban kepatuhan, atau beban lain yang bisa disesuaikan seperti beban biaya energi atau beban bunga pinjaman.

Pada saat yg sama, kata Shinta, anggaran juga perlu diberikan untuk meringankan/melancarkan penerimaan perusahaan yang turun drastis atau tidak lancar sepanjang wabah. Ini bisa dilakukan via percepatan restitusi pajak atau pendanaan restrukturisasi kredit usaha.

Adapun, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono berpendapat anggaran insentif superjumbo selama pandemi COVID-19 harus diprioritaskan ke bantuan-bantuan yang tidak hanya memiliki manfaat tunggal.

“Prinsipnya, kalau memungkinkan, anggaran insentif harus yang punya manfaat ganda. Sebab, anggaran pemerintah terbatas. Apalagi, kita belum bisa perkirakan dengan tepat kapan pandemi berakhir,” ujarnya.

Lebih lanjut, alih-alih terus menambah kuota penerima dana stimulus yang diragukan akurasi datanya, dia menilai anggaran insentif selama pandemi tersebut sebaiknya diprioritaskan untuk tiga hal.

Pertama, stimulus yang berdampak langsung dengan rakyat dan penanganan kesehatan. Kedua, stimulus yang memiliki manfaat keberlanjutan.

“Misalnya, subsidi biaya ekspor produk UMKM [usaha mikro, kecil, dan menengah] atau eksportir baru dengan menggunakan kargo udara [milik] Garuda Indonesia. Stimulus seperti ini sekaligus bermanfaat ganda [bagi industri logistik maupun UMKM],” jelasnya.

Ketiga, stimulus yang ditujukan untuk pengembangan pebisnis baru, khususnya dari.kalangan muda yang berorientasi teknologi produktif. “Sehingga anak muda yang banyak terdampak pandemi tertolong, sekaligus juga masa depan mereka juga terbantu.”

Sekadar catatan, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengestimasikan kasus pandemi corona di Indonesia mencapai 95.000 pada awal Mei sampai awal Juni 2020.

Berdasarkan kajian dari Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang dilansir Kamis (16/4), pada awal bulan depan hingga awal Juni, Indonesia akan mencapai puncak dari pandemi corona. Setelah masa puncak, kenaikan jumlah kasus positif diprediksi melanda.

Periode Juni hingga Juli 2020, lanjutnya, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia diperkirakan mencapai 106.000 kasus.

“Bagaimanapun, kami percaya angka ini bukan angka yang sudah rigid. Kami terus menerapkan berbagai kebijakan agar jumlah kasus positif bisa lebih rendah dari yang diproyeksikan,” ujar Wiku dalam konferensi pers virtual.

Guna menghadapi masa puncak pandemi, pemerintah juga sudah mulai mencairkan anggaran bantuan sosial untuk masyarakat terdampak lebih cepat dari rencana awal. Beberapa di antaranya adalah pencairan dana insentif Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, dan Kartu Prakerja.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, per 15 April 2020, pemerintah telah mencairkan dana PKH senilai Rp16,4 triliun dari total pagu Rp37,4 triliun. Penyaluran tersebut sudah mencakup tambahan 800.000 keluarga penerima manfaat (KPM) pada masa darurat COVID-19.

Untuk Program Sembako, nominal penyaluran mencapai Rp14 triliun hingga periode penyaluran Mei 2020. Data ini juga termasuk peluasan target KPM pada masa darurat Covid-19.

Untuk Program Kartu Prakerja, Kemenkeu sudah mengalokasikan Rp20 triliun, dengan target 5,6 juta peserta. Hingga 14 April, calon peserta yang telah terdaftar sebanyak 4,3 juta orang. Program ini akan mulai dieksekusi pada 17 April 2020


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper