Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira beranggapan surplus neraca dagang per Maret 2020 menunjukkan perlambatan ekonomi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan pada Maret 2020 tercatat surplus U$743,4 juta.
Nilai tersebut lebih tinggi dari surplus perdagangan Maret 2019 yang sebesar US$670,8 juta. Namun surplus pada Maret 2020 masih lebih rendah dibandingkan dengan Februari 2020 US$2,51 miliar.
Secara akumulasi Januari-Maret 2020, neraca perdagangan mencatat surplus US$2,62 miliar, jauh lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yaitu defisit US$62,8 juta.
Menurut Bhima, surplus neraca dagang terjadi karena turunnya impor di saat industri manufaktur mengalami kontraksi.
Kontraksi tersebut terlihat dari Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia kuartal I/2020 yang tercatat sebesar 45,64%, turun dari 51,50% pada kuartal IV/2020 dan 52,65% pada kuartal I/2019.
"Surplus tercipta bukan karena ekspor naik, kalau dilihat secara yoy maret total ekspor turun 0,2%, kemudian impor turun 0,75%. Ini surplus semu sesuai perkiraan," katanya, Rabu (15/4/2020).
Bhima menuturkan, industri saat ini cenderung mengerem pembelian bahan baku, yang juga disebabkan belum normalnya produksi bahan baku dan penolong di China, akibat dampak Covid-19.
Di samping itu, impor barang konsumsi juga melambat karena terpukul oleh pelemahan daya beli dan gelombang PHK secara langsung memberi tekanan terhadap anjloknya pendapatan masyarakat.
Sementara dari sisi ekspor, kata Bhima, harga komoditas pada Maret 2020 masih cenderung rendah, khususnya minyak mentah. Permintaan global melemah seiring prediksi WTO akan terjadinya kontraksi volume perdagangan global hingga 32% sepanjang tahun.
"Maret sudah dekat periode ramadan, seharusnya terjadi lonjakan produksi untuk memenuhi permintaan seasonal. Tapi ini tidak terjadi," jelas Bhima.