Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OMNIBUS LAW: Memburu Ketok Palu di Tengah Pandemi

DPR RI bakal mulai membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja bersama dengan pemerintah pasca selesainya masa reses pada Maret 2020 lalu.
Ketua DPR Puan Maharani (tengah) menerima draf RUU Omnibus Law Cipta Tenaga Kerja dari Pemerintah yang diwakili sejumlah menteri kabinet termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dan Menkeu Sri Mulyani (kanan) di Gedung DPR, Rabu (12/2/2020). JIBI/Bisnis-John Andi Oktaveri
Ketua DPR Puan Maharani (tengah) menerima draf RUU Omnibus Law Cipta Tenaga Kerja dari Pemerintah yang diwakili sejumlah menteri kabinet termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) dan Menkeu Sri Mulyani (kanan) di Gedung DPR, Rabu (12/2/2020). JIBI/Bisnis-John Andi Oktaveri

Bisnis.com, JAKARTA - Berpacu dengan waktu di tengah pandemi Corona, DPR RI bakal mulai membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja bersama dengan pemerintah pasca selesainya masa reses pada Maret 2020 lalu.

Rancangan beleid yang sempat tenggelam dari diskursus publik akibat wabah Covid-19 akhirnya kembali menguak ke permukaan.

Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Baidowi mengatakan tanggal pasti dari pembahasan RUU Cipta Kerja bersama dengan pemerintah masih menunggu penjadwalan.

Dalam rapat kerja pertama, DPR akan memastikan apakah pembahasan RUU Cipta Kerja masih sejalan dengan draf yang sudah lama dipublikasikan atau bakal ada perubahan.

"Tentu dalam prosesnya kami juga akan memaksimalkan uji publik untuk mendapatkan masukan dari masyarakat," kata Ahmad, Minggu (12/4/2020).

Ahmad mengatakan bahwa salah satu urgensi dalam pembahasan rancangan beleid ini adalah perannya dalam membantu pemulihan perekonomian pasca Covid-19.

"Salah satu yang dipikirkan itu juga. Karena draft ini masuk sebelum ada pandemi Covid-19. Maka, kalau sekarang [ada pandemi maka] harus juga meng-cover-nya," kata Ahmad.

Namun berdasarkan keterangan yang diterima Bisnis, masalah miskoordinasi antarkementerian dan lembaga (K/L) masih mengganjal pembahasan aturan turunan dari RUU Cipta Kerja. Salah satu ganjalannya terkait dengan ayat baru dalam UU Ketenagakerjaan.

Lewat Pasal 88E yang diselipkan dalam UU Ketenagakerjaan, pemerintah mengusulkan upah minimum yang berlaku pada sektor industri padat karya akan memiliki rumus tersendiri.

Dalam RUU Cipta Kerja, pemerintah menambahkan satu pasal terkait pengupahan yakni Pasal 88E yang menyebut bahwa upah minimum sektor industri padat karya ditetapkan tersendiri oleh gubernur.

Ketentuan lebih lanjut mengenai formula yang digunakan bakal diatur melalui PP. Pemerintah pun tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai variabel yang bakal digunakan pada ayat penjelas dari Pasal 88E.

Setelah RUU Omnibus Law diserahkan kepada DPR RI dan bisa diakses oleh publik lewat situs Kemenko Perekonomian, belum jelas seperti apa kelanjutan dari klausul ini.

Sumber Bisnis di lingkungan pemerintahan mengungkapkan bahwa kelanjutan dari klausul ini masih terganjal di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).

"Ketika saya kejar ke Kemenaker, mereka bilang entar dulu deh," katanya.

Dia mengatakan bahwa klausul tersebut masih menjadi subyek diskusi. Idealnya, tidak ada lagi perdebatan setelah RUU Cipta Kerja selesai dirancang. "Begitu Omnibus selesai secara paralel PP-nya juga selesai, itu yang harus kita kejar."

Ketika Bisnis mencoba menanyakan mengenai kesiapan PP yang mengatur upah sektor industri padat karya ini, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Haiyani Rumondang belum menjawab pesan singkat yang dikirim Bisnis.

Berdasarkan catatan Bisnis, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakanupah minimum yang diatur khusus bagi sektor industri padat karya diperlukan dalam rangka mengakomodasi angkatan kerja yang memiliki skill rendah.

Harapannya, dengan upah minimum khusus semakin banyak angkatan kerja yang terserap serta mengakomodir kebutuhan industri padat karya yang banyak mengalami gulung tikar.

Apakah ini berarti sektor industri padat karya bakal mendapat upah minimum lebih rendah dibandingkan sektor padat modal ataupun UMP yang diusulkan dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah? Terkait hal ini, Ida tidak menerangkan terlalu banyak.

"Kita belum bicara pada PP. Kita mesti mendata dulu berapa industri padat karya yang tidak mampu. Tidak bisa digebyah uyah semuanya tidak mampu," ujar Ida Februari lalu (24/2/2020).

Ada pula pasal teknis terkait perizinan yang masuk dalam RUU Cipta Kerja yang justru tidak dipahami maksudnya oleh K/L terkait.

Dalam usulan revisi atas Pasal 350 Ayat 5 dari UU Pemda yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja tertulis bahwa kepala daerah dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan sistem perizinan berusaha secara elektronik sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Apakah ini artinya setiap Pemda memang diperbolehkan untuk membuat sistem pendukung? Lalu bagaimana integrasinya dengan OSS yang sudah ada?

Sumber Bisnis yang lain mengaku tidak tahu menahu mengenai klausul ini.  "Pendukung ini apakah arti umum saya belum tahu, di PP No. 24/2018 [tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik] nggak gini," katanya.

Lebih lanjut, hal ini malah bisa membuat Pemda berlomba-lomba untuk membuat sistem, padahal pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah memiliki SiCANTIK, Aplikasi Cerdas Layanan Perizinan Terpadu untuk Publik.

Untuk melancarkan pelaksanaan beleid ini, masih diperlukan 36 PP dan 7 Perpres. Dari keseluruhan aturan turunan tersebut, baru satu PP yang secara resmi diumumkan oleh pemerintah telat dimulai pembahasannya.

PP yang resmi telah di-kickoff pembahasannya adalah PP tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). Seperti diketahui, RUU Cipta Kerja mengubah paradigma perizinan dari license based approach yang berlaku sekarang menjadi risk based approach. PP ini akan memerinci mengenai perubahan paradigma tersebut.

Belum jelas apakah aturan turunan yang lain sudah mulai dibahas atau belum, apalagi sekarang pemerintah telah mengalihkan perhatian kepada penanganan Covid-19.

Ekonom senior Indef Enny Sri Hartati mengatakan RUU Cipta Kerja merupakan rancangan beleid yang berpolemik sehingga tidak selayaknya dibahas di kala pandemi saat ini.

Pemerintah dan DPR yang turut serta membahas RUU Cipta Kerja pun diragukan bisa intensif membahas RUU ini di tengah keadaan seperti ini.

"Kondisi sekarang tidak memungkinkan untuk melakukan pembahasan intensif untuk membedah dan menjawab berbagai polemik itu, kalau RUU-nya tidak berpolemik bisa. Masalahnya semua bab ada polemiknya," kata Enny, Minggu (12/4/2020).

RUU Cipta Kerja juga bukan jawaban atas pemulihan ekonomi pasca Covid-19 karena aturan ini memiliki tujuan untuk menyelesaikan masalah secara jangka panjang, sedangkan pemulihan ekonomi adalah masalah jangka pendek.

Lebih baik pemerintah bersama DPR lebih fokus untuk membahas Perppu No. 1/2020 yang saat ini juga berpolemik dan memiliki potensi moral hazzard yang tinggi.

Tak pelak, tentangan atas RUU Cipta Kerja tersebut pun kembali muncul ke permukaan akibat rencana dimulainya pembahasan. 

"Ini kepentingan siapa? Patut diduga, tangan-tangan kekuatan modal sedang bekerja di DPR," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.

KSPI menuntut agar rencana pembahasan beleid ini dihapus dari Prolegnas 2020 dan kembali dilanjutkan setelah pandemi teratasi. Apalagi saat ini risiko PHK masih membayangi.

Masih banyak hal yang lebih penting untuk dibahas ketimbang beleid sapu jagat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhamad Wildan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper