Di tengah pandemi virus corona atau Covid-19 yang belum kunjung teratasi, ketersediaan alat bantu pernapasan atau ventilator mulai tak memadai. Skenario berupa barter dengan alat pelindung diri (APD) pun disuarakan sembari mencoba memproduksi ventilator secara mandiri di dalam negeri.
Pemerintah mengakui dan memastikan sendiri bahwa industri dalam negeri saat ini masih asing dengan produksi ventilator.
Pada Senin (7/4), usai memaparkan kondisi industri dalam negeri dalam rapat virtual dengan Komisi VI DPR, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mencetuskan sebuah alternatif, yakni barter APD dengan ventilator.
Dalam skenario yang dipaparkan Agus, pasokan APD dalam negeri berpotensi surplus jika produksi dan utilitas berjalan optimal sesuai rencana awal, di mana ada 30 perusahaan yang bakal memproduksi sekitar 18 juta paket APD.
Proses produksi itu mulai dilakukan penuh awal bulan ini. Artinya, jika mulai akhir bulan atau awal Mei utilisasi 100 persen, maka akan terjadi kelebihan pasokan karena kebutuhan APD dalam negeri hanya sekitar 5 juta—10 juta paket per bulan.
“Dengan asumsi di atas, maka nanti akan ada kelebihan produksi [APD] yang bisa [kita] gunakan [sebagai] alat bargain untuk ekspor ke negara yang mampu produksi ventilator, dan akan kita lakukan barter,” katanya, Senin (6/4).
Baca Juga
Lalu, berapa kebutuhan ventilator saat ini? Wakil Menteri BUMN Budi Sadikin melalui akun media sosial Twitter miliknya @BudiGSadikin membalas cuitan CEO SpaceX Elon Musk yang menawarkan bantuan ventilator untuk penanganan pasien Covid-19.
Budi mengatakan bahwa Indonesia saat ini membutuhkan tambahan seitar 300 unit—400 unit ventilator untuk penanganan pandemi virus corona. Dia mengharapkan Tesla dan Elon Musk dapat membantu pemerintah memenuhi kebutuhan tersebut.
“Dear Elon, kami mengelola 70 rumah sakit dengan sekitar 6.500 tempat tidur di Indonesia dan mencari 300—400 ventilator tambahan secepat mungkin untuk digunakan untuk menangani pasien baru. Silakan hubungi saya,” tulis Budi, Minggu (5/4) malam.
Sementara merujuk data Aplikasi Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan (ASPAK) Kementerian Kesehatan, jumlah ventilator di Indonesia saat ini ada sebanyak 8.396 unit yang tersebar di 1.827 rumah sakit di seluruh negeri.
Adapun, harga ventilator saat ini berkisar Rp300 juta—Rp800 juta per unit. Sebagai pembanding, donasi 4 unit ventilator dari PT Bank Central Asia Tbk. kepada RSPAD Gatot Soebroto di Jakarta nilainya mencapai lebih dari Rp2,7 miliar.
Produksi Ventilator
Di sisi lain, bagi pelaku industri dalam negeri, kesempatan memproduksi ventilator secara mandiri sebenarnya menjadi secercah harapan tersendiri.
Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Industri Kecil Menengah Komponen Otomotif (PIKKO) Indonesia Wan Fauzi mengatakan kini industri lain sudah mampu melakukan diversifikasi produknya untuk mempertahankan kinerja dan berkontribusi menanggulangi wabah virus corona.
Seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang membuat masker dan baju untuk APD tenaga medis dan industri kosmetik yang membuat produk antiseptik hand sanitizer.
“Kami juga ingin melakukan itu, peluangnya tentu pembuatan ventilator, tetapi sampai sekarang kami belum ada diberikan panduan dari sisi bahan baku komponen yang diperlukan dan standar kesehatannya,” ujar Fauzi kepada Bisnis.
Dia menegaskan jika panduan tersebut sudah ada dan industri komponen juga dapat menjalankan bisnis dengan alih produksi medis tentu akan membantu kondisi order yang hampir berhenti dari industri otomotif seperti normalnya.
Fauzi mencatat, saat ini pabrikan komponen yang memiliki utilisasi 25 persen masih sangat beruntung mengingat sudah banyak industri otomotif dan elektronik besar seperti Yamaha, Honda mobil, Suzuki hingga Panasonic yang setop produksi dan menghentikan order.
Adapun, masih dalam kesempatan pertemuan virtual dengan Komisi VI DPR, Agus mengamini persoalan industri adalah tidak memiliki cetak biru atau kerangka acuan pembuatan ventilator atau alat bantu pernapasan untuk pasien.
Menurutnya, kondisi industri di Tanah Air ini memang berbeda jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) atau Eropa yang sudah melakukan produksi massal ventilator melalui perusahaan otomotif.
“Di AS mereka bisa cepat karena langsung kerja sama antara perusahaan alat kesehatannya yang memberikan blueprint pada perusahaan otomotifnya. Selain itu, bahan baku juga tidak menjadi masalah,” katanya.
Sementara itu, Agus mengatakan di Indonesia belum ada satu industri pun yang memproduksi ventilator. Alhasil, kerangka acuan pembuatan pun saat ini juga tidak ada.
Namun, Agus memastikan saat ini sejumlah kalangan akademisi tengah berupaya mempercepat pembuatan blueprint ventilator yang kemudian akan dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan.
Agus menyebut salah satunya oleh Yogya Presisi Tehnikatama Industri (YPTI) dan Universitas Gadjah Mada yang sedang mempersiapkan refresh engineering untuk membuat blueprint agar perusahaan otomotif dapat langsung melakukan produksi. “Adapun, Toyota Motor sudah menyetujui investasi apabila refresh engineering itu selesai,” ujarnya.
“Jadi, ada beberapa upaya kita untuk bisa kembangkan ventilator agar kebutuhan ventilator kita terpenuhi paling tidak yang sederhana untuk kasus awal atau ringan,” kata Agus.
Dengan berbagai impitan kondisi penanganan wabah Covid-19 saat ini, memang tidak bijak untuk memilih satu upaya saja yakni impor ventilator atau berusaha memproduksi secara mandiri.
Artinya, kedua upaya di atas memang bukan untuk dipilih lagi, tetapi mana yang bisa didapatkan dengan lebih cepat, maka itu yang harus dilakukan dengan sigap.