Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu (Gakoptindo) menyebutkan penjualan tempe dan tahu pada akhir kuartal I/2020 telah susut hingga 30 persen.
Ketua Gakoptindo Aip Syarifudin mengatakan tren penyusutan tersebut akan berlanjut pada kuartal II/2020. Selain serapan, lanjutnya, pabrikan juga dihadapkan naiknya harga bahan baku yang sebagian besar diimpor akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
"Sekarang [harga kedelai] di Jakarta saja Rp8.500 per kilogram. Jadi, sudah naik kira-kira 30 persen lebih kurang. Tidak ada alternatif lain kecuali minta tolong pemerintah," ujarnya kepada Bisnis, Jumat (3/4/2020).
Adapun, bantuan yang diharapkan Aip adalah masuknya tempe maupun tahu dalam daftar bantuan sosial (bansos) yang akan diberikan Kementerian Sosial kepada keluarga prasejahtera. Seperti diketahui, pemerintah akan memberikan bansos berupa sembako pada pihak yang terdampak wabah Covid-19 dan keluarga prasejahtera.
Menurutnya, produksi tempe dan tahu masih akan lebih rendah sekitar 10 persen secara tahunan pada semester I/2020. Namun demikian, Aip meramalkan produksi tempe tahu akan merosot hingga 20 persen tanpa adanya intervensi pemerintah.
Dia berpendapat walaupun volume produksi akan masih susut, arus kas pabrikan akan terbantu dari tekanan tingginya harga bahan baku. Pasalnya, lanjutnya, pabrikan tidak bisa menaikkan harga tempe tahu di pasaran.
Baca Juga
Seperti diketahui, harga tempe tahu di pasaran berkisar Rp15.000 per kilogram atau Rp2.000-Rp3.000 per potong (200-250 gram). Harga jual tersebut ditentukan dengan harga bahan baku yang berkisar di Rp6.500-Rp6.700.
"Pada 2008 kami melakukan demo nasional karena harga kedelai sudah [di kisaran] Rp9.000-Rp10.000, dan [harga kedelai saat] ini sudah dekat," ucapnya.
Aip menyatakan strategi yang digunakan sebagian pabrikan untuk meringankan beban arus kas adalah mencari alternatif bahan bakar. Dia menyampaikan kini sebagian pabrikan beralih dari menggunakan tabung gas liquid petroleum gas (LPG) 3 kilogram sebagai bahan baku menjadi kayu bakar dan plastik bekas.
Dia mendata, saat ini sekitar 30-40 persen pabrikan menggunakan kayu bakar, 55-65 persen memakai LPG 3 kilogram, sedangkan 5 persen dari total pabrikan tempe memilih menggunakan plastik bekas. Oleh karena itu, Aip telah meminta kepada Presiden Joko Widodo agar harga gas yang dinikmati oleh produsen tempe tahu sama dengan yang dinikmati industri secara umum.
"Pengerajin tempe tahu di seluruh Indonesia ada 150.000 unit. Kalau [kebutuhan] 3 hari saja satu tabung gas, berarti butuh 50.000 tabung tiap hari. Apa kurang banyak itu [kebutuhannya]?" ucapnya.
Di sisi lain, Aip menyatakan pabrikan tempe tahu tida bisa memilih jalur pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk meringankan arus kas pabrikan. Pasalnya, 97 persen dari total pabrikan tempe di dalam negeri merupakan usaha keluarga.
Aip mencatat tenaga kerja langsung industri tempe tahu sekitar 1,5 juta orang.
"Kalau dengan [anggota] anggota keluarga bisa 5 juta orang yang terlibat."