Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai bahwa Indonesia bisa saja menjadi negara maju. Namun hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama jika mengacu kepada parameter ekonomi dan sosial dalam hukum Countervailing Duty (CVD).
"Menurut saya sih 10 tahun lagi mungkin wajar kita dianggap negara maju. Tetapi itu dengan berbagai upaya, di mana pendapatan per kapita kita harus naik terus bukan malah menjadi middle income trap," kata Ekonom Senior Indef Aviliani di ITS Tower, Jakarta, Kamis (27/2/2020).
Dia menuturkan parameter sebagai negara berkembang dari sisi ekonomi dimana angka gross national income (GNI) per kapita di bawah US$ 12.375. Sedangkan pada 2018 GNI per kapita Indonesia hanya sebesar US$ 3.840.
Meski demikian, Aviliani menganggap Amerika Serikat tidak mengacu pada parameter pembangunan sosial, seperti tingkat kemiskinan, angka kematian bayi, tingkat melek huruf orang dewasa, dan tingkat harapan hidup di Indonesia saat ini.
Aviliani menambahkan, memang benar share ekspor Indonesia terhadap total ekspor dunia pada 2018 mencapai 0,9 persen. Namun Indonesia dan Turki juga mencatat kinerja ekspor terkecil di antara negara anggota G20.
"Ekspor RI saat ini di bawah Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Peranan ekspor terhadap PDB baru mencapai 20-25 persen. Realisasi ini jauh tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 105 persen dari PDB," kata Aviliani.
Baca Juga
Menurut dia, ekspor saja tidak cukup, menjadikan Indonesia sebagai negara maju karena tidak didukung dengan indikator lain, seperti GNI per kapita atau indikator kesejahteraan lainnya. "Pengangguran kita juga 25 juta angka pengangguran, tapi dengan angka kemiskinan kita kira-kira hampir 100 juta," ucapnya.
Sebagai informasi, Indonesia dikeluarkan sebagai anggota negara berkembang dalam prinsip hukum CVD pada 10 Februari 2020. Amerika Serikat dan WTO beralasan bahwa sumbangan Indonesia dalam perdagangan dunia sudah di atas 0,5 persen dan menjadi anggota G20.