Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Harus Berani Lawan AS Tolak Status Negara Maju

Amerika Serikat hanya mengacu pada share ekspor Indonesia terhadap total perdagangan dunia yang sudah mencapai di atas 0,5 persen dan masuknya Indonesia dalam G20.
Truk melintas di kawasan pelabuhan peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT) di Jakarta, Kamis (19/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha
Truk melintas di kawasan pelabuhan peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT) di Jakarta, Kamis (19/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta menolak status negara maju yang diberikan oleh Amerika Serikat dan World Trade Organization (WTO) karena akan merugikan perekonomian Indonesia.

Direktur Eksekutif Institute of Development for Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan Amerika Serikat hanya mengacu pada share ekspor Indonesia terhadap total perdagangan dunia yang sudah mencapai di atas 0,5 persen dan masuknya Indonesia dalam G20.

"Pemerintah harus menolak status negara maju dan mengajukan protes ke Amerika Serikat. Kami memperkirakan implikasi yang ditimbulkan besar bagi Indonesia, termasuk untuk eksportir dan industri dalam negeri," katanya saat konferensi pers dengan tema “Salah Kaprah Status Negara Maju", Kamis (27/2/2020).

Dia menilai Amerika Serikat dan WTO seharusnya tidak sekadar melihat angka-angka ekonomi, tetapi juga memasukkan parameter gross national income (GNI) per kapita dan indikator pembangunan sosial lainnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pendapatan per kapita (gross national income/GNI) Indonesia pada 2019 baru mencapai US$4.174. Di sisi lain, Bank Dunia mencatat angka GNI Indonesia Pada 2018 sebesar US$3.840.

Sementara itu, batasan pendapatan negara maju atau upper-middle income yang digunakan Unites States Trade Representatives mengacu pada ketentuan Bank Dunia, yaitu US$13.275.

Terkait angka pembangunan sosial, INDEF mengungkapkan penduduk dengan tingkat pengeluaran penduduk di bawah US$1,9 per hari di Indonesia mencapai 5,7 persen dan US$3,2 per hari sebanyak 27,3 persen. Padahal, negara berpendapatan tinggi (high economies) masing-masing sebesar 0,6 persen dan 0,9 persen.

Karena itu, dia menyarankan pemerintah agar mendeklarasikan diri sebagai negara berkembang, bukan negara maju agar tetap mendapatkan akses WTO, khususnya perjanjian terkait subsidies and countervailing measures (SCM). Beberapa negara berkembang yang berhasil mendapatkan pengakuan tersebut antara lain, Albania, Armenia, Georgia, Kazakhstan, Republik Kirgistan, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, dan Ukraina.

"Pemerintah harus melakukan kerja sama dengan Brazil, India, Malaysia, Thailand, Vietnam, Argentina, dan Afrika Selatan untuk memprotes status negara maju dalam persidangan WTO selanjutnya," ucap Tauhid.

Seperti diketahui, Indonesia dikeluarkan sebagai anggota negara berkembang dalam prinsip hukum CVD pada 10 Februari 2020. Amerika Serikat dan WTO beralasan share Indonesia dalam perdagangan dunia sudah di atas 0,5 persen dan menjadi anggota G20.

Dampaknya, pihak Amerika Serikat akan melakukan penyelidikan antisubsidi ke penyelidikan trade remedies lain, seperti antidumping pasca beralihnya status RI dari negara berkembang menjadi negara maju.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper