Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Trump, Ekonomi Dunia, dan Ramalan Menteri Suharso

Kebijakan ekonomi Amerika Serikat di masa pemerintahan Donald J. Trump dinilai amat protektif sehingga memicu tensi perang dagang dengan para mitranya. Walhasil, perekonomian dunia menjadi lambat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Bisnis/Abdullah Azzam
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan hasil pemilihan Presiden di Amerika Serikat (AS) akan berdampak luas terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.

Dia mengungkapkan sejumlah skenario yang akan terjadi bila Presiden AS saat ini Donald J. Trump kalah dalam pemilihan umum November 2020 mendatang. Suharso menduga, bila Trump tidak lagi dipilih sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi dunia akan meningkat. Begitu juga sebaliknya.

"Jadi kita doakan saja dia enggak terpilih [lagi dalam pemilu]," ungkapnya dalam acara Kick Off Meeting Rancangan Kerja Pemerintah 2021 di Jakarta, Senin (24/2/2020).

Suharso berpendapat, di era pemerintahan Trump, Amerika Serikat menerapkan kebijakan populis yang amat protektif. Hal itu berdampak pada tensi hubungan dagang dengan para mitra dagangnya. Tensi yang makin panas membuat perang dagang (trade war) antara AS dan China. tidak terhindarkan.

Jika perang dagang mereda, Suharso memprediksi pertumbuhan ekonomi global bisa naik. Begitupun sebaliknya. Dia beralasan, kebijakan Generalized System of Preferences (GSP)  disebut sebagai salah satu contoh instrumen yang digunakan AS untuk menekan mitra dagangnya.

"Dia enggak buka [pasar]. Trump pakai instrumen GSP sehingga menekan mitra dagang. Kalau dia lebih fleksibel lain cerita. Bukan berarti Pak Harso anti-Trump ya, gawat nanti," ujarnya sambil terkekeh.

Untuk diketahui, Trump baru saja mengubah kebijakan perdagangannya dengan mencoret beberapa negara dari daftar negara berkembang, termasuk China, India, dan Afrika Selatan.

Dilansir dari Bloomberg, Pemerintah AS mempersempit daftar  negara-negara yang masuk kategori developing dan least-developed untuk menurunkan batasan syarat suatu negara bisa diinvestigasi karena menganggu industri AS dengan subsidi ekspor yang tidak adil. Hal ini diketahui berdasarkan pemberitahuan dari Kantor Perwakilan Dagang AS.

Pemerintah Negeri Paman Sam tersebut mencabut preferensi khusus untuk beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain Indonesia, negara berkembang lain yang terkena pencabutan preferensi khusus yaitu Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, China, Colombia, Costa Rica, Georgia, Hong Kong, India, Kazakhstan, Kirgizstan, Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.

The US Trade Representative (USTR) menyatakan keputusan tersebut bertujuan untuk memperbarui pedoman investigasi perdagangan karena panduan sebelumnya, yang berlaku mulai 1998, dinilai sudah usang.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper