Bisnis.com, JAKARTA - Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang beredar menjadi sebuah perbincangan hangat beberapa hari ini. Terlebih, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dikabarkan dalam dokumen tersebut akan digantikan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus sebagai pelaksana kegiatan hulu migas.
Sejumlah pasal maupun pasal revisi di dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas diselipkan dalam RUU Omnibus Law. Padahal pasal-pasal tersebut berpotensi mengakhiri kelembagaan SKK Migas.
Di halaman 242 hingga halaman 243, pada pasal 4A RUU Omnibus Law disebutkan bahwa pemerintah pusat dapat membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus sebagai pelaksana kegiatan hulu migas.
Rincian pasal 4A itu yakni kegiatan usaha hulu migas diselenggarakan oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan.
Pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan dapat membentuk atau menugaskan BUMN khusus sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu migas dan bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat.
Adapun, BUMN Khusus sebagaimana dimaksud itu melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi melalui kerja sama dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap.
Lalu dalam pasal 64A disebutkan sebelum terbentuk BUMN Khusus, kegiatan usaha hulu migas tetap dilaksanakan berdasarkan kontrak kerja sama antara SKK Migas dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap.
Di pasal tersebut juga mengatur bahwa kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama atara SKK Migas dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap, tetap berlaku.
Dengan terbentuknya BUMN Khusus, semua hak dan kewajiban serta akibat yang timbul terhadap SKK Migas dari kontrak kerja sama beralih kepada BUMN Khusus. Kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak kerja sama antara SKK MIgas dan pihak lain beralih kepada BUMN Khusus.
Selanjutnya, semua kontrak dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhir kontrak. Hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian, atau perikatan tetap dilaksanakan oleh SKK Migas sampai terbentuknya BUMN Khusus.
Menanggapi hal itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan SKK migas memang harus diubah menjadi business entity agar hubungannya dengan kontraktor kontrak kerja sama (K3S) menjadi business to business, bukan lagi seperti yang saat ini goverment to business.
"Saya setuju dengan memasukkan subtansi RUU Migas, yang sudah lebih 8 tahun tidak kunjung selesai. Dengan dimasukkan ke Omnibus law dapat segera diselesaikan agar ada kepastian, utamanya eksistensi SKK Migas," ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (15/2/2020).
Dia menilai aktivitas bisnis business entity nantinya akan lebih ke service yang dilakukan mulai dari penelitian dan pencarian sumber migas, menyiapkan lapangan, menawarkan dalam bidding kepada K3S hingga menandatangani kontrak dengan pemenang tender.
Selain itu, business entity itu bisa juga mengurus segala perizinan dalam satu atap yang dibutuhkan kontraktor dengan memungut fee dari kontraktor untuk pengurusan perizinan.
Menurutnya, sejak kontraktor sudah ajukan pengurusan perizinan ke business entity, kontraktor sudah dapat memulai eksplorasi dan eksploitasi sehingga dapat mempercepat produksi perdana di lapangan migas.
Adapun, alternatif bentuk business entity bisa BUMN khusus atau BUMN anak perusahaan Pertamina sebagai holding migas
"Kalau SKK Migas sebagai business entity akan lebih leluasa dan fleksibel dalam mencapai target lifting 1 juta barrel per hari," ucap Fahmy.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif enggan memberikan komentar mengenai hal ini dan mengenai substansi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berkaitan dengan sektor ESDM.
"Enggak ada, ngarang-ngarang," katanya.