Bisnis.com, JAKARTA - Dalam beberapa pekan terakhir, rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas industri menjadi US$6 per Million Metric British Thermal Units (MMbtu) menjadi pembicaraan hangat.
Terlebih, dalam Rapat Terbatas pada Rabu (12/2), Presiden Joko Widodo meminta agar harga gas industri US$6 per MMbtu segera ditetapkan.
Untuk diketahui, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, harga gas industri ditetapkan sebesar US$6 atau sekitar Rp83.784 perMMbtu, yang mulai dilaksanakan pada 1 April mendatang. Adapun, terdapat tujuh sektor industi yang berhak mendapatkan harga gas khusus, yaitu industri pupuk, industri petrokimia, industri oleokimia, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan harga gas industri yang akan ditetapkan sebesar US$6 per MMbtu dinilai belum dapat menjamin daya saing industri akan meningkat.
"Volume konsumsi per konsumen pada industri, utamanya konsumen industri kimia, relatif masih kecil," ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (15/2/2020).
Menurutnya, rencana penetapan harga gas US$6 per MMBtu ini perlu dikaji ulang melalui kajian mendalam, perhitungan cermat, dan simulasi sebelum memutuskan kebijakan harga gas industri.
Baca Juga
"Kalau benar bahwa penetapan harga gas industri sebesar US$6 per MMbtu tidak menaikkan daya saing industri, kebijakan harga gas itu justru hanya membebani bagi Pemerintah dan industri gas, baik di hulu, maupun di midterm," ucapnya.
Fahmy menuturkan saat ini harga gas industri hingga awal Febuari 2020 masih bertengger sekitar US$9,9 per MMbtu hingga US$13,5 per MMbtu.
Mahalnya harga gas industri itu dipengaruhi oleh beberapa variabel pembentuk harga gas industri, yang ditetapkan berdasarkan Permen ESDM No.58 /2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.
Dalam beleid tersebut, formula harga gas bumi yakni harga jual gas bumi hilir sama dengan harga gas bumi hulu ditambah biaya pengelolaan infrastruktur ditambah biaya niaga.
Dari variabel pembentukan harga tersebut, didominasi oleh harga gas bumi hulu sebesar 70 persen, sedangkan biaya pengelolaan infrastruktur dan biaya niaga di midterm hanya mencakup sebesar 30 persen dari struktur harga jual hilir.
Adapun, harga gas di hulu berkisar dari US$3,5 per MMbtu hingga US$8,20 per MMbtu tergantung dari lokasi sumber gas sektor hulu.
"Harga gas dari lapangan di Sumatra Selatan berbeda dengan Jawa Barat atau Jawa Timur. Harga di Jawa Barat paling mahal pada US$8,2 per MMbtu, sedangkan harga di Sumatra Selatan paling mahal US$6,55 per MMbtu," ucapnya.
Harga gas hulu tersebut, lanjut Fahmy, ditetapkan secara transparan oleh Pemerintah berdasarkan Permen ESDM No.06/2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi.
Hal itu mempertimbangkan tiga variabel utama yakni keekonomian lahan, harga gas dalam dan luar negeri, dan nilai tambah pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.
Fahmy menerangkan rerata harga gas hulu mencapai US$5,9 per MMbtu dan ditambah biaya infrastruktur dan niaga sebesar US$4 per MMbtu, maka harga jual gas industri exiting mencapai sebesar US$9,9 MMbtu.
Lalu untuk mencapai harga gas industri menjadi US$6 per MMBtu, maka harus ada pengurangan sebesar US$3,9 per MMBtu dari harga jual gas industri exiting.
"Kalau menggunakan opsi melepas jatah pemerintah sebesar US$2,20 per MMbtu, maka harga gas di hulu menjadi sebesar sebesar US$3,7 dari US$5,9 per MMbtu dikurangi US$2,20 per MMbtu," tuturnya.
Dengan asumsi biaya infrastruktur dan niaga tetap sebesar US$4 per MMbtu, maka harga gas Industri masih sebesar US$7,7 per MMbtu yang merupakan hasil penambahan harga gas hulu US$3,7 MMbtu ditambah dengan US$4 MMbtu.
Menurut Fahmy untuk mencapai harga gas industri menjadi US$6 per MMbtu, maka setelah pengurangan in take, masih harus ada pengurangan sebesar US$1,7 per MMbtu di harga gas industri yang sebesar US$7,7 per MMbtu.
"Oleh karena itu, alternatifnya pengurangan sebesar itu bisa dibebankan pada kontraktor kontrak kerja sama (K3S) atau dibebankan pada biaya infrastruktur dan niaga secara proporsional," katanya.
Kendati demikian, pembebanan baik pada K3S maupun pada biaya infrastruktur dan niaga akan memberikan dampak terhadap industri gas di Tanah Air.
Pembebanan pada K3S hingga mencapai di bawah harga keekonomian akan merugikan bagi K3S. Dampaknya, akan menjadikan investasi di hulu migas menjadi tidak kondusif lagi.
"Sedang pembebanan pada biaya infrastruktur dan niaga, tidak hanya merugikan bagi PGN, tetapi juga akan menghambat keberlanjutan pembangunan pipa yang masih dibutuhkan untuk menyalurkan gas hingga ke konsumen industri," ujarnya.
Dengan demikian, lanjut Fahmy, penetapan harga gas industri sebesar US$6 per MMbtu untuk menciptakan daya saing industri sesungguhnya tidak gratis. Pasalnya, beban biaya tersebut harus ditanggung Pemerintah, K3S, dan PGN.
Pemerintah menanggung melalui mengurangan perolehan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak migas sehingga berpotensi mengurangi dana bagi hasil daerah.
"Sedangkan, K3S dan PGN menanggung potensial loss, yang mengurangi margin yang seharusnya didapatkan," ucapnya.
Lalu, apakah penetapan harga gas industri sebesar US$6 per MMbtu benar-benar akan meningkatkan daya saing indutri sehingga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi?
Dia menilai untuk menjawab pertanyaan itu memang dibutuhkan kajian mendalam, perhitungan cermat dan simulasi.
Namun sebagai gambaran awal, data menunjukkan bahwa dari total volume konsumsi gas pada Desember 2019 sebesar 827,4 MMbtu.
Dari total volume konsumsi gas pada konsumen industri sebesar 445,80 MMbtu atau sekitar 53,89 persen, dengan konsumen terbesar industri kimia sebesar 120,20 MMbtu atau sekitar 14,53 persen dengan jumlah konsumen sebanyak 322 pelanggan.
"Sedangkan volume konsumsi gas pada konsumen non-industri sebesar 381 MMbtu atau sekitar 46,11 persen, dengan jumlah pelanggan terbesar PLN sebesar 340,6 MMbtu atau sekitar 41,05 persen, dengan jumlah pelanggan 1 konsumen," ucap Fahmy.
Dari gambaran awal tersebut, utamanya terkait besaran volume konsumsi gas industri, penetapan harga gas industri sebesar US$6 per MMbtu sesungguhnya belum menjamin akan meningkatkan daya saing industri.