Bisnis.com, JAKARTA - Balai Besar Industri Hasil Perkebunan (BBIHP) Makassar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan akan mendorong petani jadi produsen seiring dengan adanya penggunaan teknologi terbaru.
Kepala BBIHP Makassar Tirta Wisnu Permana mengatakan akan mendorong petani untuk bisa menghasilkan produk cokelat. Hal tersebut dimungkinkan dengan penerapan konsep end-to-end process, dari mulai pascapanen sampai benar-benar menghasilkan produk cokelat.
“Kami harus mendorong petani kita agar bisa meningkatkan nilai tambah komoditasnya. Oleh karena itu, kami bikin teknologi fermentasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (11/2/2020).
Wisnu menambahkan pihaknya telah menciptakan teknologi yang dapat mempercepat waktu fermentasi biji kakao menjadi satu hari, yakni Smart Fermentor. Dia berujar penggunaan teknologi tersebut akan meningkatkan daya saing industri kecil menengah (IKM) olahan kakao lantaran waktu fermentasi normal memakan waktu hingga 7 hari.
Pihaknya menyampaikan pihaknya akan mematenkan teknologi tersebut pada tahun ini. Selain itu, pihaknya juga sedang menggodok teknologi yang dapat mengolah bijih kakao menjadi dark chocolate yang punya nutrisi tinggi dan bermanfaat bagi kesehatan.
“Kami sering mengundang sekolah-sekolah untuk melihat langsung proses pengolahan cokelat hingga menghasilkan produk jadi. Sebab, di lingkungan mereka punya potensi besar dari lahan kakao yang ada,” ucapnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Wisnu menyatakan pihaknya sedang merancang teknologi yang diberi nama Mini Point 4.0 untuk pengolahan kopi dengan kapasitas 15-20 Kg. Adapun, saat ini Wisnu sedang merancang anggaran aplikasi, alat-alat, dan mesin roasting.
Sebelumnya, Plt. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Eko S.A. Cahyanto mengapresiasi berbagai terobosan yang telah dilakukan unit kerja di bawah BPPI tersebut. Menurutnya, wilayah Sulawesi terutama Sulawesi Selatan ini adalah penghasil komoditas yang sangat dicari atau dibutuhkan oleh pasar dunia, antara lain kakao dan kopi. Dari tempat ini, lanjutnya, sebagian besar komoditas itu diekspor dalam bentuk mentah.
Oleh karena itu, BBIHP fokus terhadap upaya hilirisasi komoditas hasil perkebunan, seperti kakao dan kopi. Melalui peningkatan nilai tambah ini, Eko meyakini dapat memacu perekonomian wilayah setempat hingga nasional.
“Kalau kita bergantung pada komoditas yang masih belum diolah itu kan nilai tambahnya sedikit. Per kilo biji kakao itu di sini sekitar Rp20.000. Tetapi kalau kita proses lagi, dengan smart factory ini bisa 10 kali lipat nilai tambahnya, sekitar Rp200.000 atau Rp250.000 per kilogram,” katanya.