Bisnis.com, JAKARTA - Wacana Kementerian Perindustrian membatasi ekspor bahan baku, salah satunya adalah minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) menuai kritik.
Sayangnya, rencana tersebut tidak direspons positif oleh pelaku industri. Industriawan menganggap, pelarangan ekspor CPO hanya akan menimbulkan masalah baru alih-alih meningkatkan serapan bahan baku industri lokal.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) mencatatkan kontribusi ekspor CPO dalam portofolio ekspor kelapa sawit dan turunannya naik tipis menjadi 20 persen pada 2019 dari tahun sebelumnya sebesar 19 persen. Asosiasi menilai harus ada keseimbangan dalam volume eskpor CPO untuk menopang industri pengguna CPO.
"Ekspor [CPO] harus tetap didorong karena ekspor [CPO] yang membiayai insentif biodiesel. [Regulasi] itu mustinya harus seimbang semua untuk semua [industri pengguna CPO] berjalan smooth," kata Ketua Umum Gapki Joko Supriyono kepada Bisnis.com, Senin (3/2/2020).
Joko meyakini pemerintah tidak akan melarang ekspor CPO lantaran akan menghasilkan komplikasi baru. Menurutnya, industri pengguna tidak memiliki masalah terhadap pasokan CPO di dalam negeri.
Adapun, volume ekspor CPO dan barang dari CPO tahun lalu mencapai 36 juta ton. Angka tersebut naik 4 persen dari realisasi tahun sebelumnya sekitar 34,71 juta ton.
Dengan kata lain, ekspor CPO pada tahun lalu sebesar 7,2 juta ton, sedangkan ekspor olahan CPO selain oleokimia dan biodiesel mendominasi sebanyak 24,48 juta ton atau 68 persen dari total ekspor CPO dan turunannya.
Adapun, Joko mendata konsumsi CPO dalam negeri juga meningkat secara signifikan kecuali untuk industri Oleokimia yang mencatatkan pertumbuhan konsumsi CPO 9 persen secara tahunan. Industri oleopangan dan biodiesel masing-masing mencatatkan pertumbuhan konsumsi masing-masing 49 persen dan 51,2 persen secara tahunan.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel (Aprobi) Paulu Tjakrawan mengatakan produksi biodiesel pada tahun lalu mencapai 6,7 juta kiloliter. Capaian tersebut lebih tinggi dari target awal 2019 yakni sekitar 6,4 juta kiloliter.
Paulus berujar produksi biodiesel tahun lalu berhasil mengurangi impor solar sebanyak US$3,8 miliar. Adapun, lanjutnya, tahun ini asosiasi menargetkan produksi biodiesel mencapai 9,6 juta kiloliter dan dapat menghemat devisa senilai US$5,4 miliar.
Selain itu, lanjutnya, pabrikan berhasil mengekspor biodiesel sejumlah 1,3 juta kiloliter ke Eropa, China, dan Hongkong. Menurutnya, tahun ini pabrikan biodiesel berpotensi tidak melakukan ekspor lantaran hampir seluruh kapasitas terpasang akan digunakan walaupun akan ada investasi baru tahun ini.
"Kapasitas [terpasang] kami hampir 12 juta kiloliter, namun pada praktiknya [kapasitas] produksi sekitar 85 persen dari kapasitas [terpasang]. Jadi, tinggal 10 persen, sedangkan yang akan terpakai 9,6 juta kiloliter," ujarnya.
Paulus menyatakan pabrikan biodiesel secara teori tidak dapat melakukan ekspor setidaknya pada awal 2020. Pasalnya, beberapa pabrik investasi anyar baru akan beroperasi paling cepat pada medio semester II/2020.
Paulus menyatakan tiga pabrikan baru hasil investasi lokal senilai Rp6 triliun dengan total kapasitas terpasang sebesar 3,6 juta kiloliter pada tahun ini. Dengan kata lain, kapasitas terpasang industri biodiesel nasional menjadi ebih dari 15 juta kiloliter.
Paulus menyatakan pabrikan dapat menyerap seluruh CPO yang terkena larangan ekspor jika arahan itu terealisasi. Namun demikian, Paulus menilai ekspor CPO tidak perlu dihentikan secara bisnis.
Menurutnya, pemerintah justru akan kehilangan pasar CPO jika larangan ekspor CPO diterapkan. "Kalau tidak bisa [dapat dari Indonesia, mereka] beli ke Malaysia."
Senada, Ketua Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) Adi Wisoko Kasman menyatakan pasar global tetap membutuhkan CPO. Namun demikian, Adi meyakini alokasi ekspor CPO secara organik akan menurun.
"Mereka memang butuhnya CPO, ya mau gimana? Bertahap turun [alokasinya] mungkin, tapi 0 persen tidak bisa," katanya kepada Bisnis.com.