Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha menilai belum ada terobosan yang dilakukan untuk mendongkrak kinerja ekspor oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin yang sudah berjalan selama 100 hari.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani mengatakan belum ada upaya istimewa dari pemerintah untuk mendorong kinerja ekspor nasional.
Dia menyebut pemerintah hanya berfokus pada pembukaan pasar melalui perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dan perjanjian perdagangan preferensial (preferential trade agreement/PTA) yang efeknya baru akan terasa dalam jangka menengah hingga panjang.
Pasalnya pakta kerja sama dagang itu memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk dirampungkan sebelum nantinya diratifikasi.
Kemudian dia menilai selama ini baik FTA maupun PTA belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh pelaku usaha untuk mengekspor produknya lantaran kurangnya pemahaman yang mereka miliki.
“Pemahaman pelaku usaha dalam menggunakan FTA dan PTA ini masih rendah sehingga perlu waktu untuk mengedukasi dan menyesuaikan diri. Tentunya agar pelaku usaha bisa menggunakan keduanya bukan hanya untuk mengimpor, tetapi lebih banyak untuk mengekspor,” katanya ketika dihubungi oleh Bisnis.com pada Kamis (30/1/2020).
Baca Juga
Menurut Shinta, pemerintah juga masih belum menyentuh permasalahan krusial terkait daya saing ekspor nasional, yaitu peningkatan diversifikasi produk ekspor nasional, peningkatan produktivitas dan efisiensi rantai pasok (supply chain), serta peningkatan kualitas produk agar dapat dengan mudah diterima oleh pasar.
“Kalau ini tidak dilakukan tentu sulit untuk meningkatkan ekspor, khususnya dengan iklim perdagangan global yang melemah dan tingkat persaingan dagang yang semakin tinggi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Shinta menuturkan bahwa permasalahan krusial itu tidak bisa diselesaikan tanpa adanya dukungan dari masuknya investor ke Tanah Air yang saat ini masih menunggu kehadiran dari omnibus law.
Menurutnya, RUU Cipta Lapangan Kerja digadang-gadang bakal menciptakan iklim usaha dan investasi yang lebih bersahabat. Dia khawatir apabila tak kunjung diselesaikan industri dalam negeri bakal mati karena terus menerus digempur oleh produk impor.
“Sayangnya hal ini masih belum dilakukan karena sebagian harus menunggu omnibus law diimplementasikan dan sebagian lagi memang tidak dilakukan oleh pemerintah karena kepentingan menjaga defisit neraca perdagangan melalui kontrol impor yang semakin ketat sehingga supply chain dari pelaku usaha tetap kurang seamless (tidak ada batasan) dan tidak cukup efisien untuk menggenjot kinerja ekspor,” ungkapnya.
Adapun, sebelumnya Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan bahwa omnibus law yang juga disebut sebagai beleid sapu jagat tidak bisa sepenuhnya diandalkan untuk memperbaiki iklim usaha dan investasi di Tanah Air apabila nantinya disahkan dan diberlakukan.
Menurutnya, beleid tersebut perlu didukung oleh aturan turunan yang memadai. Selain itu, diperlukan pula harmonisasi antarkebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah.
“Harus ada aturan turunan yang mendukung [omnibus law], selain itu diperlukan juga harmonisasi kebijakan agar tidak tumpang tindih dan tidak sinkron satu sama lain. Seperti contoh aturan dari pusat sebagai syarat untuk masuknya investasi hanya A sampai D tetapi di daerah bisa A sampai Z, tentunya ini yang membuat investor berpikir ulang untuk masuk ke Indonesia,” katanya ketika ditemui Bisnis di Jakarta, Rabu (29/1/2020).