Bisnis.com, JAKARTA – Properti hunian bersama atau co-living mulai menjadi tren di beberapa negara, tetapi di Indonesia perkembangannya masih belum banyak terlihat.
Head of Research JLL Indonesia James Taylor mengatakan properti co-living belum terlalu populer atau booming di Indonesia karena dianggap sebagai salah satu sektor yang sangat baru.
Selain itu, dia menyatakan para pengembang di Indonesia juga masih perlu waktu untuk mengembangkan properti hunian bersama.
“Co-living merupakan konsep yang baru sehingga bisa jadi pengembang perlu menunggu. Misalnya menunggu tawaran kerja sama dengan perusahaan asing yang lebih berpengalaman,” katanya di sela-sela Market Briefing JLL di Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Meski saat ini konsep tersebut masih belum menjadi tren, tetapi James memprediksi bahwa konsep hunian bersama ke depannya bisa berkembang dengan baik di Indonesia.
Menurut Taylor, adanya berbagai konsep properti di Indonesia seperti Transit Oriented Development (TOD) dan berbagai infrastruktur yang sudah dibangun, minat terhadap co-living ke depannya bisa memiliki kinerja yang lebih baik.
Baca Juga
Perkembangannya juga diperkirakan bisa meluas hingga ke pinggiran Jakarta, seperti Bekasi. Dia mengungkapkan bahwa rencana pembangunan Lintas Rel Terpadu (LRT) ke arah Timur Jakarta memungkinkan properti hunian bersama di pinggir Jakarta untuk menjadi pilihan.
“Dengan adanya LRT orang tidak perlu lagi memikirkan cara ke Jakarta dengan cepat, tinggal di mana saja asal bisa cepat sampai ke Jakarta bakal jadi pilihan. Belum lagi di pinggiran Jakarta harganya bisa lebih terjangkau, kompetitif dengan indekos biasa,” lanjut Taylor.
Head of Advisory JLL Indonesia Vivin Harsanto menambahkan bahwa untuk saat ini, pertumbuhan properti co-living di Jakarta bisa dibilang masih prematur, padahal di luar negeri properti co-living sudah jadi pilihan mayoritas anak mudanya.
“Dengan kondisi seperti saat ini, sebenarnya kesempatannya untuk berkembang masih terbuka sangat lebar. Untuk pengembangan co-living juga harus cermat dari sisi investasinya, bagaimana nantinya yang investasi di pengembangan itu atau menyewakan unitnya bisa dapat return yang sepadan,” kata Vivin.
Selain itu, imbuh Vivin, perlu diperhatikan juga bahwa co-living memiliki banyak tipe, bisa berupa indekos 4-5 lantai, bisa satu menara apartemen, bisa juga hanya beberapa lantai di apartemen.
“Intinya, co-living bukan hanya beberapa unit kamar yang dijadikan satu, tetapi harus ada operatornya yang membentuk komunitasnya. Perhatikan juga target pasarnya, misalnya yang disasar milenial kelas apa. Kalau dibandingkan dengan indekos, berapa biayanya, karena milenial ada yang kelasnya mahasiswa, first time worker, atau profesional,” paparnya.
Jika menargetkan mahasiswa, imbuhnya, kompetisi terberatnya ada di indekos karena harganya umumnya akan jauh lebih terjangkau dan tidak begitu memerlukan kegiatan atau pembentukkan komunitas.
Sementara itu, untuk kalangan profesional harus dilihat apakah komunitas yang dibangun bisa menjadi daya tarik. Ke depan, lanjut Vivin, yang masih perlu diupayakan adalah mempertajam permintaan sebagai satu bentuk pengembangan tersendiri. Selain itu, dari sisi investasinya juga masih perlu ditinjau lebih terperinci lagi.