Bisnis.com, JAKARTA - Berdasarkan laporan World Bank, Partisipasi Indonesia dalam sistem rantai nilai global (global value chain) masih belum maksimal akibat ketidakfokusan dalam pengembangan produk perdagangan dan inefisiensi biaya pelabuhan.
Chief Economist East Asia and Pacific dari World Bank Aaditya Mattoo melihat keikutsertaan Indonesia dalam rantai nilai global memiliki sejumlah sisi yang saling bertolak belakang.
Sebagai pengekspor komoditas mentah seperti minyak kelapa sawit dan batubara, partisipasi Indonesia cukup tinggi dan berkembang. Namun, sebagai importir bahan kain dan besi baja yang masing-masing digunakan sebagai bahan baku untuk produksi pakaian jadi dan kendaraan roda empat, partisipasi Indonesia rendah dan cenderung melemah.
"Hal ini terlihat dari proporsi ekspor untuk produk pakaian jadi, elektronik, dan suku cadang mobil ke negara-negara maju menurun, sementara ekspor produk serupa negara tetangga meningkat," ujar Aaditya Matto, Senin (28/1/2020).
Dia melanjutkan, partisipasi ke depan (forward participation) pada komoditas mentah menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Sementara itu, lemahnya partisipasi ke belakang (backward participation) di industri manufaktur mencerminkan tidak efektifnya upaya menopang transisi ke industri manufaktur dan jasa pada tahap yang lebih maju.
Kelemahan Indonesia dalam memanfaatkan rantai nilai global semakin dipersulit oleh tingginya biaya transportasi. Hal tersebut disebabkan oleh peraturan yang membebani dan distorsi dalam harga pelabuhan (port pricing).
Baca Juga
Dia mencatat proses prapemeriksaan (preclearance) dan pemeriksaaan (clearance) untuk impor di Indonesia memakan waktu 200 jam, lima kali lebih besar dibandingkan dengan Malaysia. Biaya penggunaan fasilitas pelabuhan (port dues) di Pelabuhan Tanjung Priok lima kali lebih besar bila dibandingkan dengan Singapura dan dua setengah kali lipat dari pelabuhan di Yangon, Myanmar.
"Selain itu, lembaga yang menjaga persaingan di Indonesia dinilai menjadi salah satu yang terlemah di dunia," katanya.
Proses reformasi kebijakan yang tengah dimulai di Indonesia berpotensi meningkatkan partisipasinya di rantai nilai global. Dia mencontohkan penghapusan batasan penanaman modal asing secara bertahap berpotensi meningkatkan aliran modal masuk.
Kendati demikian, dia mengatakan ada dua risiko yang berpotensi muncul. Pertama, reformasi kebijakan ini mungkin tidak dapat menjawab hambatan-hambatan kunci dari lemahnya partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global.
Kedua, negara-negara di dunia terkadang memperlemah perlindungan sosial dan lingkungan untuk menarik rantai nilai global. Hal ini dapat memfasilitasi partisipasi dalam rantai nilai global dan mencegah dampak negatifnya.
"Untuk menarik modal asing itu, sumber tenaga kerja yang kompetitif amat diperlukan. Tetapi, biaya tenaga kerja aktual di Indonesia lebih tinggi karena rendahnya produktivitas tenaga kerja meskipun tingkat upah Indonesia hanya setengah dari tingkat upah di China," imbuh Chief Economist World Bank tersebut.