Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2019 berpotensi lebih rendah dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya dan akan berada di kisaran 4,9 persen (yoy).
Peneliti Center of Economic Reforms on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan indeks penjualan riil (IPR) yang melambat mengkonfirmasi perlambatan konsumsi pada akhir tahun. "Di kuartal IV/2019 kami prediksi sedikit melambat menjadi 4,99% (yoy)," ujarnya, Jumat (17/1/2020).
PMTB (pengeluaran untuk barang modal) diproyeksikan hanya akan tumbuh sebesar 4,3% (yoy) pada kuartal IV 2019, lebih baik dibandingkan dengan kuartal III/2019.
Realisasi investasi diprediksi sudah akan terealisasi pada kuartal IV/2019 dan ini akan membantu pertumbuhan ekonomi pada sepanjang tahun 2019 tetap di angka 5%.
Namun, komponen yang paling membantu pertumbuhan ekonomi pada 2019 mencapai 5% adalah pertumbuhan impor yang berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir mengalami konntraksi hingga 9,53% (yoy).
Impor yang terkontraksi tersebut pada akhirnya membantu memperkecil defisit neraca dagang menjadi sebesar US$3,19 miliar, lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yang mencapai US$8,69 miliar.
Dalam konteks jangka pendek, impor yang mengalami kontraksi tersebut memang sangat membantu mempertahankan nominal pertumbuhan ekonomi.Namun, dalam konteks perekonomian yang lebih luas hal tersebut bukan merupakan kabar baik dari sisi industri.
Hal ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur masih cenderung menahan ekspansi. "Kita tahun impor bahan baku memegang proporsi paling besra bagi impor Indonesia," ujar Yusuf.
Merujuk pada Prompt Manufacturing Index (PMI) BI, indeks tersebut menunjukkan bahwa fase ekspansi sektor manufaktur pada kuartal IV/2019 lebih lambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Tercatat, PMI BI pada kuartal IV/2019 berada di angka 51,5%, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal III/2019 dan kuartal-kuartal sebelumnya. Indeks kecepatan penerimaan barang input tercatat pada level kontraksi yakni di angka 49,71%.
Di lain pihak, ekonomi Indef Abdul Manap Pulungan menilai pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2019 kemungkinan besar tidak akan mencapai 5% (yoy).
Hal ini terutama nampak pada data OJK yang menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai kredit perbankan hanya tumbuh 6,08%, terendah sejak 2002.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 pun diproyeksikan tidak akan mencapai 5% (yoy) dan hanya akan ada di sekitar nominal 4,9% (yoy).
Selain karena ekspor yang melambat akibat volatilitas perekonomian global yang menekan kinerja dunia usaha, faktor lain seperti investasi juga turut menekan pertumbuhan ekonomi 2019 dan memiliki dampak pada pendapatan.
Laju pertumbuhan ekonomi yang tidak memuaskan ini pun memiliki potensi untuk berlanjut pada semester I/2020 dengan catatan apabila perekonomian global tak kunjung kondusif.
"Namun, perekonomian domestik bisa membaik jika pertemuan antara AS dengan China bisa mengurangi dampak dari perang dagang," Abdul, Jumat (17/1/2020).
Meski demikian, Abdul memproyeksikan masih akan ada lag antara kesepakatan dengan dampaknya terhadap performa perekonomian ke depan.