Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyarankan PT PLN (Persero) menggunakan mekanisme take or pay dalam kontrak pembelian gas alam cair (LNG).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan untuk mengantisipasi fluktuasi harga LNG, kontrak pembelian LNG antara PLN dan PT Pertamina (Persero), bisa menggunakan mekanisme take or pay.
Berkaca dari tahun lalu, Djoko menjelaskan bahwa PLN komitmen menyerap 17 kargo LNG dari Eni, tetapi realisasinya hanya 6 kargo saja. Hal ini disebabkan lebih rendahnya harga LNG di pasar spot.
"Harusnya ada take or pay. Kalau enggak ambil, [tetap] bayar. Bisa juga bayar saja dulu, tapi ngambilnya kapan-kapan," tuturnya, baru-baru ini.
Selain itu, akibat pembatalan penyerapan LNG tersebut, realisasi penyaluran kontrak gas untuk kelistrikan jadi tidak maksimal. Berdasarkan data SKK Migas, kelistrikan memiliki kontrak penyaluran gas sebesar 1.151,22 BBTud, sementara yang terealisasi sebanyak 849,44 BBTud.
Di sisi lain, dalam pemanfaatan gas bumi untuk sektor industri, tercatat kontrak sebanyak 1.910,58 BBTud, sementara yang terealisasi hanya sebanyak 1.600,12 BBTud. Begitu juga untuk sektor pupuk, tercatat kontrak gas yang dimiliki sebanyak 830,27 BBTud, sementara yang tersalur sebanyak 748 BBTud.
Ekspor gas pipa juga realisasinya tercatat di bawah kontrak yang diberikan dengan penyaluran sebanyak 723,99 BBTud dari kontrak sebesar 809,85 BBTud.
Djoko mengatakan impor LNG sebaiknya menjadi pilihan terakhir karena akan memengaruhi neraca perdagangan. "Impor [itu] pilihan terakhir, kalau impor jauh lebih murah dalam dalam negeri, ya sudah," tambahnya.