Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo memberikan tiga opsi untuk mendorong harga gas industri lebih kompetitif, salah satunya bebas impor untuk industri.
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmi Radhi mengatakan opsi impor gas untuk industri seakan berlawanan dengan semangat pemerintah memangkas defisit neraca perdagangan.
"Belum lama ini Presiden menyindir mafia migas yang memilih impor. Kok sekarang malah memberikan opsi impor untuk gas industri?" kata Fahmi ketika dihubungi Bisnis.com, Sabtu (11/1/2020).
Dalam rapat terbatas tentang Ketersediaan Gas Untuk Industri, Senin (6/1), Jokowi mengatakan gas bukan semata-mata komoditas, tapi juga modal pembangunan yang akan memperkuat industri nasional.
Kepala Negara menyebut ada enam sektor industri yang menggunakan 80 persen volume gas Indonesia, baik itu pembangkit listrik, industri kimia, industri makanan, industri keramik, industri baja, industri pupuk, industri gelas.
Menurut Fahmi, tiga opsi untuk memangkas harga gas industri terkesan blunder. Untuk opsi pertama, Presiden mengusulkan pemangkasan jatah pemerintah US$2,2 per MMBtu.
"Pengurangan jatah pemerintah US$2,2 per MMBtu itu kan besar sekali. Saya yakin Menteri Keuangan itu akan menolak, karena kehilangan potensi PBNB yang besar," kata Fahmi.
Selain itu, dengan hilangnya bagian pemerintah, secara tidak langsung akan memangkas harga gas menjadi US$6 per MMBtu, karena keekonomian setiap lapangan berbeda.
Terkait kewajiban pengisian kebutuhan dalam negeri atau DMO, Fahmi menyebut hal ini lebih ideal dibandingkan dengan opsi pengurangan bagian negara dan bebas impor. Pasalnya, struktur harga hulu berkontribusi 70 persen dari harga jual produk.
"Kalau harga di bawah keekonomian, produsen akan menanggung potential loss, investor akan menolak," tambahnya.
Fahmi yang juga mantan Tim Anti Mafia Migas ini menyarankan agar pemerintah meningkatkan keandalan infrastruktur gas.