Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menilai ketersediaan bahan baku menjadi tantangan utama bagi industri makanan dan minuman dalam menghadapi dampak negatif dari sejumlah sentimen global sepanjang 2020.
Sejumlah peristiwa itu antara lain ketegangan hubungan antara China-Indonesia akibat konflik di perairan Natuna dan konflik Amerika Serikat - Iran, serta pemilihan presiden di Negeri Paman Sam. Selain itu, larangan ekspor sawit ke Eropa juga menjadi sentimen negatif bagi industri nasional.
Pelaku industri makanan dan minuman (mamin) pun didorong untuk melakukan inovasi bahan pangan dan menyediakan bahan baku pengganti.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman mengakui bahwa sejumlah sentimen itu tetap menjadi perhatian pelaku dunia usaha, kendati hingga saat ini belum berdampak signifikan pada arus perdagangan dan investasi ke Indonesia.
Menurutnya, kondisi geopolitik akan berdampak pada ekspor sawit dan produk turunannya sebab komoditas itu berkontribusi sekitar US$30 miliar bagi ekspor mamin. Di luar komoditas tersebut, jelas dia, industri mamin akan secara umum akan dominan memanfaatkan pasar di dalam negeri.
"Untuk mamin secara umum tidak akan bermasalah sebab pasar dalam negeri besar. Namun, bahan baku yang menjadi masalah," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (7/1/2020).
Adhi menjelaskan larangan ekspor sawit oleh Uni Eropa kemungkinan dibalas dengan membatasi impor bahan baku susu. Padahal, ekspor susu dari Benua Biru itu mencapai 30% dari kebutuhan industri mamin akan bahan baku tersebut.
Di sisi lain, dia menilai subtitusi bahan baku tidak bisa serta merta dipacu. Kondisi serupa, katanya, bisa terjadi untuk impor kedelai dan gandum yang menopang industri mamin nasional. "Maka otomatis harga susu akan naik dan memengaruhi daya saing."
Adhi menilai bahwa pelaku industri mamin nasional perlu mengantisipasi dampak terburuk dari kondisi geopolitik tersebut. Menurutnya, inovasi bahan baku perlu didorong di industri pangan.