Bisnis.com, JAKARTA - Tingginya biaya uji klinis fitofarmaka dinilai menutup peluang pelaku usaha kecil dan menengah di industri jamu dan obat tradisional untuk memiliki produk obat tersebut.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) Dwi Ranny Pertiwi mengatakan saat ini biaya uji klinis untuk menjadikan obat menjadi fitofarmaka setidaknya mencapai Rp2 miliar. Fitofarmaka merupakan obat dari bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis.
Oleh karena itu, pihaknya berharap agar biayanya bisa ditanggung bersama oleh banyak perusahaan secara bersama-sama.
"Kami sudah usulkan agar bisa urun biaya. Nanti, setelah jadi fitofarmaka bahan baku dan obat itu bisa dijual dengan merek yang berbeda-beda," ujarnya kepada Bisnis, belum lama ini.
Dwi mengatakan tingginya biaya itu menjadi kendala bagi pelaku usaha kecil dan menengah di industri jamu dan obat tradisional. Alhasil, baru ada 26 obat fitofarmaka di Indonesia.
Fitofarmaka itu pun mayoritas dimiliki oleh perusahaan berskala besar yang tidak hanya fokus di sektor jamu dan obat tradisional, melainkan juga pelaku di industri farmasi.
"Nanti, misalnya, 10 perusahaan kecil bisa urun biaya untuk uji klinis dan juga disubsidi pemerintah," ujarnya.
Dwi menjelaskan usulan GP Farmasi itu sejalan dengan upaya untuk mengembangkan industri jamu dan obat tradisional. Pasalnya, potensi pemasaran obat fitofarmaka lebih terbuka sebab dapat diresepkan oleh dokter.
Di sisi lain, pihaknya menyambut baik upaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan membentuk satuan tugas (satgas) untuk menggenjot jumlah bahan baku industri jamu maupun fitofarmaka.
"Ini program bagus yang selama ini kami ajukan terus menerus," ujarnya.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM Maya Gustina Andarini mengatakan anggota satgas tersebut akan bersumber dari tim Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Hasil penelitian satgas tersebut akan dikoordinasikan dengan Kementrian Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Dengan demikian, lanjutnya, pertumbuhan jumlah produk jamu dan Fitofarmaka akan lebih tinggi.
"Jadi yang namanya peneliti dan yang menyediakan bahan nyambung sama yang diperlukan masyarakat dan penyakit yang diperlukan. Jangan sampai dibikin tapi penyakitnya tidak ada. Semua jadi satu nafas," ujarnya.