Bisnis.com, JAKARTA - Stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang tergolong besar membuat Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) harus memutar otak untuk mengelolanya. Segala cara pun ditempuh agar beras-beras yang menumpuk digudangnya dapat segera tersalurkan dan tidak menjadi beban bagi korporasi.
Terbaru, perusahaan pelat merah tersebut berencana menyalurkan CBP melalui operasi pasar yang ditargetkan pada keluarga penerima manfaat (KPM) bantuan pangan nontunai (BPNT). Kebijakan ini dilakukan di luar tugas harian Bulog dalam melakukan operasi pasar atau yang disebut dengan ketersediaan pasokan dan stabilitas harga (KPSH).
Direktur Operasional Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan dengan stok CBP per 3 November 2019 yang mencapai 2,1 juta, BUMN pangan tersebut harus segera menyalurkan berasnya agar stok awal 2020 terjaga di level 1,5 juta ton.
Terlebih, hingga saat ini, kebijakan KPSH Bulog masih sulit mencapai target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5.000 ton per hari. Berdasarkan data Bulog, per 3 November 2019 realisasi operasi pasar baru mencapai 491.064 ton. Adapun target penyaluran KPSH pada tahun ini dipatok 1,48 juta ton.
“Kami setengah mati menyalurkan beras untuk KPSH di pasar umum, karena stok di lapangan masih tinggi. Maka dari itu kami usulkan skema baru, yakni OP targeted untuk KPM penerima BPNT,” katanya kepada Bisnis.com, Selasa (3/12/2019).
Dalam pelaksanaanya, Bulog ingin memanfaatkan hak KPM BPNT untuk menerima beras sebanyak 30 kilogram (kg) per bulannya. Sementara itu, dalam kebijakan BPNT, masyarakat KPM rata-rata hanya membeli beras di outlet e-warong sebanyak 8—10kg.
Alhasil, Bulog pun berencana mengisi ruang pasokan beras bagi kelompok masyarakat penerima BPNT tersebut. Tri mengatakan, Bulog berencana memasok beras sekitar 10 kg per bulan kepada masing-masing KPM di luar hak KPM menukarkan vouchernya di outlet BPNT.
“Usulan rencana itu juga merupakan respons kami untuk mengantisipasi kenaikan harga beras di pasar, karena hari besar keagamaan nasional dan potensi menurunnya pasokan beras dari petani karena kemarau panjang tahun ini,” katanya.
Apabila usulan tersebut diterima pemerintah, Bulog menargetkan dapat menyalurkan sekitar 500.000 ton beras CBP melalui skema tersebut hingga akhir Desember 2019. Dengan demikian, stok beras CBP Bulog pada awal 2020 dapat mencapai 1,5 juta ton, sesuai dengan instruksi pemerintah untuk menjaga stok CBP di level 1—1,5 juta ton.
Alhasil, jika usulan Bulog tersebut diterima, maka akan menambah saluran penyaluran beras CBP selain beberapa kebijakan lain yang telah ada sebelumnya.
Adapun sebelumnya, pada Oktober 2019, Bulog telah bekerja sama dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk menggelar operasi pasar di toko ritel modern. Langkah tersebut tergolong baru bagi Bulog dan pemerintah yang selama ini mengandalkan proses operasi pasar dengan cara konvensional melalui pasar rakyat.
Langkah jorjoran Bulog dalam mencari saluran penyaluran beras CBP menjadi hal yang wajar. Pasalnya, di tengah stok CBP yang besar, jalur penyaluran beras yang dimiliki Bulog justru menyempit pada tahun ini.
Seperti diketahui, pada 2018 skema bantuan sosial rastra (bansos rastra) berubah sepenuhnya menjadi BPNT. Bulog pun tak lagi menjadi pemasok tunggal beras untuk 15,6 juta orang yang diberikan bantuan sosial oleh pemerintah. Perusahaan pelat merah itu harus bersaing dengan pedagang beras swasta dalam memasok komoditas itu ke outlet e-warong.
Kementerian Sosial sejatinya telah menjanjikan keleluasaan bagi Bulog sebagai pemasok utama beras bagi outlet BPNT dengan target penyaluran dari September-Desember 2019 sebesar 700.000 ton.
Namun dalam kenyataannya, beras Bulog tetap tidak bisa secara penuh dipasok ke KPM BPNT. Hal itu terbukti dari realisasi penyaluran beras untuk BPNT oleh Bulog yang baru mencapai 85.000 ton hingga awal bulan ini.
Bulog pun kelimpungan, karena kebijakan baru pemerintah tersebut membuat perusahaan tersebut merugi hingga Rp955 miliar per September 2019 lalu. Direktur Utama Bulog Budi Waseso mengatakan kerugian tersebut tercatat dalam segmen public service obligation (PSO) atau penugasan pemerintah terhadap Bulog.
Belum lagi, Bulog juga mengalami kesulitan dalam mengelola CBP, lantaran tidak sinkronnya peraturan di tingkat regulator. Hal itu menjadi salah satu penyebab, utang Bulog membengkak hingga Rp28 triliun pada tahun ini.
BEBAN BARU
Terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto mendukung upaya Bulog dalam memperluas pangsa pasar penyaluran beras CBP. Namun dia menegaskan, kebijakan tersebut tidak boleh menimbulkan beban baru bagi pemerintah dalam hal penyediaan anggaran.
“Intinya, kami mendukung tiap upaya Bulog untuk menyalurkan berasnya, asal beras yang dijual sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET). Terkait dengan usulan skema OP yang baru dari Bulog tersebut, kami tidak bisa memberikan komentar lebih banyak, karena harus dibahas dalam rapat koordinasi terbatas di Kemenko Perekonomian terlebih dahulu,” ujarnya.
Pengamat pangan dari Perhimpunan Ekonomi dan Pertanian Indonesia (Perhepi) Husein Sawit mengatakan menjadi hal yang wajar bagi Bulog untuk terus menambah saluran penyaluran beras CBP. Kebijakan penambahan skema OP yang disasar kepada masyarakat penerima KPM merupakan hal yang wajar lantaran OP konvensional yang selama ini dilakukan Bulog tidak bisa berjalan maksimal.
“Kondisi ini terjadi karena pemerintah tidak jelas dalam mengatur kebijakan perberasan nasional. Banyak kebijakan tidak diambil dengan riset yang mendalam. Akibatnya, kebijakan pangan tersebut hanya menyelesaikan satu persoalan namun menimbulkan permasalah lain di tempat lain,” katanya.
Dia mencontohkan, kebijakan peralihan bansos rastra ke BPNT, di satu sisi menyelesaikan permasalahan dalam pemberian hak kepada KPM untuk memilih kebutuhan pokok yang disubsidi pemerintah. Namun demikian, kebijakan itu membuat Bulog terbebani karena tidak lagi memiliki saluran yang pasti untuk mengeluarkan CBP.
Di sisi lain, Bulog juga masih dibebani oleh stok impor beras pada 2018 yang besar dan target penyerapan beras petani untuk CBP yang mencapai 1,6 juta ton pada tahun ini.
“Kalau pengelolaan cadangan beras nasional tidak lagi menimbulkan polemik, pemerintah harus konsisten dan sinkron dalam membuat peraturan. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka karut-marut perberasan akan terus terjadi, stok CBP terus menumpuk dan skema disposal harus terus terjadi,” katanya.
Dengan demikian, langkah sporadis dan cenderung jorjoran yang harus ditempuh Bulog dalam menyalurkan CBP sejatinya tak perlu terjadi, apabila pemerintah konsisten dan menciptakan kebijakan yang terukur dalam mengelola cadangan berasnya. Sebab, apabila kondisi ini dibiarkan, maka karut-marut kebijakan perberasan nasional akan terus terjadi. Masyarakat pun akhirnya yang akan menjadi korban.