Bisnis.com, JAKARTA - Disharmoni antarkementerian dan lembaga diakui oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai penyebab timbulnya peraturan daerah (perda) bermasalah.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri Akmal Malik, Rabu (20/11/2019).
Akmal mengungkapkan bahwa sesungguhnya perda yang diajukan wajib melalui proses fasilitasi sebagaimana tertuang dalam Permendagri No. 120/2018. Adapun yang dimaksud dengan fasilitasi adalah pembinaan secara tertulis atas produk hukum daerah yang berbentuk peraturan terhadap muatan dan teknik penyusunan rancangan peraturan.
Setiap fasilitas pun selalu melibatkan kementerian dan lembaga (K/L) terkait. Namun, Akmal mengungkapkan bahwa selama ini masih banyak K/L yang cenderung tidak kooperatif dalam proses fasilitasi padahal di satu sisi SDM yang dimiliki oleh Kemendagri tidak sepenuhnya menguasai norma-norma dari rancangan perda yang masuk.
"Kemendagri sendiri memiliki keterbatasan untuk memahami regulasi di sektor tertentu. Dalam setiap kegiatan fasilitasi, kita selalu mengundang K/L terkait, masalahnya belum tentu K/L itu mau hadir," ujar Akmal.
Kondisi ini pun memaksa Kemendagri untuk melaksanakan fasilitasi atas rancangan perda. Hal ini membuat fasilitasi yang dilakukan pun menjadi tidak maksimal.
Masalah ini pun ditambah lagi dengan tingginya kecenderungan K/L sektoral untuk membuat aturan baru sehingga memaksa Kemendagri untuk memahami aturan-aturan tersebut, sedangkan SDM yang dimiliki oleh Kemendagri sangat terbatas untuk memahami aturan-aturan sektoral secara keseluruhan.
"Setiap UU punya banyak PP, setiap PP punya banyak Permen, dan Permen ini harus diterjemahkan dalam bentuk perda," kata Akmal.
Oleh karena itu, Akmal mengatakan bahwa biro hukum dari K/L terkait seharusnya ikut turun membantu Kemendagri dalam perancangan perda agar jumlah perda bermasalah yang tidak sejalan dengan aturan pusat bisa ditekan.
Seperti diketahui, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyebutkan setidaknya ada 347 peraturan daerah (perda) yang bermasalah dan memiliki potensi menghambat investasi.
Berdasarkan kajian KPPOD tersebut, ditemukan bahwa 235 perda yang bermasalah adalah terkait dengan pajak dan retribusi daerah, 63 terkait dengan perizinan, 7 terkait dengan masalaha ketenagakerjaan, dan 42 perda dengan urusan lain-lain. Banyak di antara perda-perda tersebut bermasalah dalam aspek yuridis, substansi, hingga prinsip.
Adapun berdasarkan catatan Kemendagri, sejak 2015 hingga Juli 2019 sudah 290 perda provinsi yang berkaitan dengan investasi.