Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha dan Kementerian Perindustrian telah menyepakati kebutuhan tambahan impor gula mentah (GM) untuk gula kristal rafinasi (GKR) pada tahun ini, mencapai 300.000 ton. Tambahan tersebut digunakan sebagai stok cadangan kebutuhan industri pada awal 2020.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), Gapmmi dan Kementerian Perindustrian telah melakukan pembahasan terkait dengan kebutuhan tambahan kuota izin impor GM untuk GKR pada awal September.
Dari pembahasan tersebut, muncul kesepakatan bahwa Kemenperin akan merekomendasikan tambahan kuota izin impor GM untuk GKR sebesar 300.000 ton pada tahun ini. Volume tambahan impor tersebut dinilai para pelaku usaha cukup untuk memenuhi kebutuhan pada awal tahun depan.
“Kami menghitung, minimal harus ada buffer stock GM untuk GKR yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bulan Januari dan Februari 2020. Kemenperin sudah mengeluarkan angka volume rekomendasi tambahan impor GM untuk GKR yakni 300.000 ton,” ujarnya kepada Bisnis.com, Kamis (31/10/2019).
Dia mengatakan para pelaku usaha terkait saat ini tinggal menunggu pembahasan selanjutnya mengenai tambahan kuota izin impor GM untuk GKR tersebut. Menurutnya, pembahasan mengenai hal itu sempat tertunda lantaran adanya pergantian kabinet di tubuh pemerintahan pada pertengahan September 2019.
Adhi melanjutkan kebutuhan stok cadangan GM untuk GKR bagi kebutuhan awal tahun depan diperlukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga. Hal-hal tersebut salah satunya gangguan panen di negara penyuplai GM untuk GKR, yang berpotensi menghambat pasokan komoditas tersebut untuk Indonesia.
“Selain itu yang harus diperhitungkan adalah, stok GM dari kuota impor tahun ini di perusahaan anggota AGRI diperkirakan akan mulai habis pada akhir November. Hal ini harus diantisipasi mengingat pada akhir tahun ini dan awal tahun depan, konsumsi mamin Indonesia mengalami kenaikan,” jelasnya.
Kini pelaku usaha tinggal menantikan rapat koordinasi di Kementeria Koordinator Perekonomian untuk memutuskan adanya tambahan kuota izin impor GM untuk GKR tahun ini. Hal itu dibutuhkan bagi pelaku usaha, terutama industri gula rafinasi untuk mendapatkan persetujuan izin impor dari Kementerian Perdagangan.
Dia mengklaim, tambahan kuota izin impor GM untuk GKR tersebut tidak terlalu signifikan. Pasalnya, apabila ditotal, realisasi impor GM untuk GKR pada tahun ini hanya akan mencapai 3 juta ton. Jumlah itu masih lebih rendah dari realisasi impor komoditas itu pada tahun lalu yang mencapai 3,15 juta ton.
“Tahun ini kan persetujuan impor yang keluar sekitar 2,7 juta ton dari kuota izin impor yang diberikan sebesar 2,8 juta ton. Jadi kalau ditambah 300.000 ton, masih lebih rendah dari realisasi impor tahun lalu,” jelasnya.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Rachmat Hariotomo mengamini bahwa Kemenperin telah menyetujui permintaan tambahan kuota izin impor GM untuk GKR pada tahun ini. Berdasarkan laporan yang diterimanya, tambahan kuota izin impor tersebut mencapai 282.000 ton.
Dia mengatakan, AGRI pada awalnya mengusulkan tambahan kuota izin impor GM untuk GKR tahun ini mencapai 450.000 ton. Usulan itu dihitung berdasarkan kebutuhan untuk akhir tahun ini dan cadangan stok pada dua bulan awal 2020. Adapun, kebutuhan GKR untuk industri domestik per bulannya mencapai 250.000 ton—300.000 ton.
“Namun dalam pembahasan dengan Kemenperin dengan beberapa pertimbangan yang ada, akhirnya disepakati bahwa tambahan kuota izin impor pada tahun ini sekitar 300.000 ton atau tepatnya 282.000 ton,” jelasnya.
Dia mengharapkan izin impor untuk tambahan kebutuhan GM untuk GKR tahun ini bias segera terbit. Pasalnya, stok di sejumlah perusahaan gula rafinasi nasional sudah mulai habis.
Di sisi lain, dia melanjutkan dari persetujuan impor GM untuk GKR yang telah diterbitkan Kemendag hingga September 2019, yakni 2,69 juta ton, hampir seluruhnya telah direalisasikan impornya.
Adapun, pada tahun ini total kuota izin impor GM untuk GKR yang disediakan oleh pemerintah mencapai 2,8 juta ton. Kuota tersebut terbagi menjadi 1,5 juta ton untuk semester I/2019 dan 1,25 juta ton untuk semester II/2019.
Rachmat mengatakan terkait dengan negara asal gula mentah yang diimpor, para pengusaha gula rafinasi akan mencari negara yang dapat memasok komoditas tersebut dengan harga yang bersaing dan kualitas yang baik.
Menurutnya, para pelaku industri gula rafinasi tidak menutup kemungkinan mengimpor GM untuk GKR dari India yang bea masuknya sudah disetarakan dengan Australia dan Thailand.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan bakal menunggu rapat koordinasi (rakor) di Kementerian Koordinator Perekonomian untuk memutuskan penerbitan rekomendasi tambahan izin impor GM untuk GKR. Pasalnya, rekomendasi dari Kemenperin belum tentu dapat direalisasikan dalam bentuk perizinan impor tanpa melalui rakor dengan kementerian terkait lainnya.
“Kami masih menunggu rakor di Kemenko Perekonomian untuk mengeluarkan rekomendasi tambahan kuota izin impor GM untuk GKR,” ujarnya.
Adapun, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Wisnu Wardhana tidak memberikan respons ketika dimintai keterangan oleh Bisnis.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengaku kecewa dengan keputusan pemerintah menambah kuota izin impor GM untuk GKR pada tahun ini. Pasalnya, dengan volume kuota izin impor tahun yang mendekati realisasi impor 2019, dikhawatirkannya akan memilihara potensi terjadinya rembesah GKR di pasar nonindustri.
“Awalnya kami sudah senang, ketika kuota izin impor tahun ini hanya 2,8 juta ton. Sebab angka tersebut adalah angka yang paling realistis untuk memenuhi kebutuhan GKR bagi industri. Namun kalau ditambah lagi, saya khawatir, temuan Satgas Pangan pertengahan tahun ini terkait rembesan GKR akan terjadi lagi,” katanya.
Dia menilai, rembesan GKR di pasar nonindustri disebabkan oleh kuota izin impor GM untuk GKR yang berlebihan yang diberikan pemerintah tiap tahunnya. Apabila perembesan tersebut terus terjadi, maka akan mengancam keberlangsungan usaha petani dalam negeri.