Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah perlu memberikan kepastian hukum kepada investor agar investasi yang mampu mengembangkan bijih nikel menjadi produk jadi bisa tetap menarik ke depannya.
"Kita memang seharusnya memberikan kepastian hukum sehingga investor kemudian bisa melakukan perencanaan dan merencanakan ke depannya," ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Rabu (30/10/2019).
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah perlu dirancang sedang awal dengan menganalisis dampak atas sektor terkait dan perubahan ekosistem yang akan timbul akibat kebijakan tersebut.
Seperti diketahui sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM bakal melarang ekspor bijih nikel terhitung mulai 1 Januari 2020.
Kebijakan ini disahkan melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Sebelum keluarnya Permen ESDM terbaru ini, pelarangan ekspor bijih nikel akan dimulai pada 1 Januari 2020 dari sebelumnya ditentukan akan dimulai pada 2022.
Dalam perkembangan terakhir, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bersama sejumlah asosiasi usaha mendadak melakukan kesepakatan secara verbal untuk menghentikan eskpor bijih nikel per Selasa (29/10/2019).
Setelah adanya perjanjian tersebut, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa pelarangan ekspor bijih nikel per 1 Januari 2020 tidak berubah.
Adapun yang disepakati oleh BKPM dan asosiasi usaha dalah kesepakatan yang menurut Bahlil lahir dari kesadaran bersama antara pemerintah dengan dunia usaha.
"Bayangkan kalau kita ekspor bijih nikel sekarang itu harganya hanya US$45 per metrik ton, kalau diproses dan dikirim itu bisa US$2.000 per metrik ton. Pertanyaan apakah kesepakatan ini melanggar aturan atau tidak? Ini kan kesadaran pengusaha, mana yang melanggar?" ujar Bahlil, Rabu (30/10/2019).
Menurut Bahlil, hal ini justru memberikan kepastian kepada investor karena dapat dipastikan bahwa bijih nikel yang belum terolah tidak lari ke pasar luar negeri.
Bahlil juga mengaku bahwa kesepakatan yang dilakukannya bersama dengan dunia usaha sudah dikoordinasikan dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.
"Ingat, harga bijih nikel yang mereka sudah tambang itu dibeli teman smelter di sini dengan harga internasional, dikurangi pajak dan transhipment," tambah Bahlil.
Akibat larangan ekspor tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pun mencatat bahwa untuk beberapa waktu terkahir terdapat lonjakan ekpor bijih nikel ke luar Indonesia.
"Ini kan menjelang akhir dari pada masa diperbolehkannya ekspor bijih nikel. Beberapa perusahaan meningkatkan kegiatan ekspornya," ujar Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi, Rabu (30/10/2019).