Bisnis.com, JAKARTA - Regulasi yang kerap berubah-ubah menjadi tantangan pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia.
Ketua Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan pemerintah dalam waktu dekat akan mengeluarkan peraturan presiden (perpres) mengenai pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Perpres tersebut diharapkan akan memayungi sejumlah regulasi sehingga tidak mudah berubah-ubah.
Dia mengungkapkan METI telah mengusulkan sejumlah masukan ke pemerintah mengenai perpres yang mengatur pengembangan EBT tersebut. Usulan METI mulai dari biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkitan yang diharapkan tidak lagi sebesar 85% dari BPP lokal.
Surya Darma mengatakan selain persoalan BPP, METI juga mengusulkan agar skema bangun, miliki, operasikan, dan alihkan (build, own, operate, transfer/BOOT) untuk pembangkit EBT juga dicabut.
"EBT merasa selama ini ada diskriminasi. Kalau bukan pembangkit EBT boleh 100% [besaran BPP]. Apa ada PLTD [pembangkit listrik tenaga diesel] yang baru dibangun dengan BPP 85% seperti pembangkit EBT? Kan tidak ada," katanya. Rabu (30/10/2019).
Surya Darma menilai berbagai regulasi yang dibuat pemerintah belum menarik pengembangan EBT di Indonesia. Contohnya, meski telah melakukan penandatangan kontrak pada 2017 dan 2018, masih ada 32 dari 75 perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA) EBT yang belum mampu keluar dari permasalahan pembiayaan.
Sulitnya pengembang mendapatkan pembiayaan membuat 32 PPA tersebut belum juga melakukan konstruksi.
Saat ini, lanjutnya, METI juga berupaya untuk menjembatani 32 proyek PPA EBT yang mengalami kesulitan pembiayaan tersebut sehingga tidak berakhir dalam pemutusan kontrak atau terminasi.
"Kita cari jalan.Kalau diputus kasihan mereka yang sudah usaha sekian lama tidak jalan. Kami METI berupaya mencari skema yang mungkin kita usulkan semacam pendanaan internasional untuk mendukung ini," katanya.
Adapun Indonesia telah menargetkan bauran EBT pada 2025 sebesar 23%.