Bisnis.com, JAKARTA -
Hal ini sejalan dengan program prioritas Kabinet Indonesia Maju yaitu peningkatan kualitas SDM. Sebab. jika tidak dimanfaatkan oleh Indonesia, maka potensi yang keanekaragaman hayati yang besar tersebut, akan dimanfaatkan oleh negara maju dan perusahaan multinasional.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Agung Kuswandono mengatakan Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia (megabiodiversity) dan tergolong negara yang memiliki tingkat endemisme tertinggi di dunia. Indonesia memiliki setidaknya 47 ekosistem alami yang berbeda.
Keanekaragaman hayati Indonesia tersebut merupakan potensi dan aset nasional dan basis peningkatan kesejahteraan masyarakat di masa yang akan datang atau dikenal sebagai emas hijau yang berpotensi untuk sebagai bahan pangan, papan, obat obatan dan kosmetika.
“Saat ini, pemanfaatan sumberdaya hayati untuk industri di Indonesia masih relatif kecil dibandingkan dengan potensi yang ada. Bahkan, salah satu penelitian menyebutkan hanya sekitar 5% saja potensi sumberdaya hayati yang sudah dimanfaatankan untuk industry.” kata Agung, Senin (28/10/2019).
Agung mencontohkan seperti hasil suatu penelitian yang menyatakan bahwa dari 150 obat-obatan yang diresepkan dokter di Amerika Serikat, 118 jenis berbasis sumber alam, yaitu 74% (tujuh puluh empat) dari tumbuhan, 18% jamur, 5% bakteri, dan 3% vertebrata seperti ular. Nilai obat-obatan tersebut mencapai US$40 miliar per tahun.
"Industri farmasi atau obat-obatan memang merupakan industri yang sangat besar, dengan perkiraan persentase dari keseluruhan nilai industri bahwa nilai tumbuhan alami yang digunakan dalam industri farmasi berkisar dari US$400 hingga 900 miliar/tahun."
Oleh karenanya, pencurian terhadap sumberdaya hayati, terutama sumberdaya genetik Indonesia (biopiracy) juga menjadi masalah yang akan merugikan ekonomi Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sumber daya genetika seperti obat, bahan industri dan pangan dipatenkan ataupun diambil dan dimanfaatkan tanpa izin oleh perusahaan dan pakar luar negeri.
Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemenristek, Ocky Karna Radjasa menuturkan adanya UU Sisnas Iptek memberikan perlindungan bagi Sumber Daya Hayati Indonesia sekaligus memberikan sanksi bagi semua pihak yang melanggar ketentuan terkait dengan penelitian asing.
Sanksi yang terdapat dalam UU tersebut mulai dari sanksi administratif sampai dengan sanksi pidana.
“Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) asing dan/atau orang asing dan orang Indonesia yang melakukan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (Litbangjirap) di Indonesia dengan dana yang bersumber dari pembiayaan asing, diantaranya wajib menyerahkan data primer kegiatan Litbangjirap, serta memberikan pembagian keuntungan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.” kata Ocky.
Dalam hal ini, setiap orang asing yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana disebut pada Pasal 76 diberikan sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian pembinaan, denda administratif, pencantuman para pelanggar dalam daftar hitam pelanggaran Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan; dan/atau pencabutan izin.
Ocky menjelaskan bahwa bagi setiap orang asing yang melakukan Litbangjirap tanpa izin, dikenai sanksi secara bertahap, mulai dari sanksi administratif berupa pencantuman dalam daftar hitam orang asing yang melakukan Litbangjirap di Indonesia, sampai dengan sanksi pidana berupa pidana denda paling banyak Rp4 miliar.