Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengukur Manfaat Kebijakan APBN Tanpa Perubahan

Pada 2018, pemerintah mematok defisit anggaran pada angka 2,19% dari PDB atau sebesar Rp325,93 triliun. Namun, pada akhir tahun defisit anggaran tercatat hanya Rp269,44 triliun atau hanya 1,82% dari PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pemaparan saat konferensi pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Realisasi defisit APBN hingga Mei 2019 mencapai Rp127,45 triliun atau sekitar 0,79 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)./ANTARA FOTO-Hafidz Mubarak A
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pemaparan saat konferensi pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Realisasi defisit APBN hingga Mei 2019 mencapai Rp127,45 triliun atau sekitar 0,79 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)./ANTARA FOTO-Hafidz Mubarak A

Bisnis.com, JAKARTA - Dalam 2 tahun terakhir pelaksanaan anggaran, pemerintah mampu menjalankan anggaran hingga akhir tahun tanpa mengajukan perubahan atas APBN.

Pada 2018, pemerintah mematok defisit anggaran pada angka 2,19% dari PDB atau sebesar Rp325,93 triliun. Namun, pada akhir tahun defisit anggaran tercatat hanya Rp269,44 triliun atau hanya 1,82% dari PDB.

Kala itu, defisit berhasil ditekan drastis jauh lebih rendah dari yang telah dianggarkan terutama diakibatkan oleh realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mencapai Rp409,32 triliun atau 148,61% dari yang telah dianggarkan.

Tahun ini, pemerintah kembali melaksanakan anggaran tanpa mengajukan perubahan anggaran kepada DPR. Namun, keadaan APBN tahun ini jauh berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Dalam laporan semester I APBN 2019, pemerintah memutuskan untuk memperlebar defisit anggaran dari Rp296 triliun atau 1,84% dari PDB sebagaimana tertuang dalam anggaran menjadi Rp310,81 triliun atau 1,93% dari PDB.

Berbeda dengan 2018, pemerintah tidak lagi menikmati windfall PNBP akibat harga Indonesia Crude Price (ICP) per barel yang lebih tinggi US$19,5 dari yang telah diasumsikan.

Tahun ini, harga ICP per barelnya lebih rendah US$7 dari yang diasumsikan yakni dari US$70 per barel menjadi US$63 per barel dalam outlook.

Akibatnya, jenis PNBP dengan kontribusi terbesar yakni minyak bumi pada akhirnya dipangkas penerimaannya dari target sebesar Rp118,6 triliun menjadi tinggal Rp95,23 triliun.

Berlanjut pada Agustus 2019, ditemukan pula bahwa realisasi penerimaan pajak masih belum memuaskan. Per akhir Agustus 2019, penerimaan pajak hanya Rp801,6 triliun atau hanya tumbuh 0,21% dibandingkan dengan tahun lalu.

Meski realisasi PNBP per Agustus 2019 lebih baik dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak di mana PNBP masih mampu tumbuh 11,59% dibandingkan dengan Agustus tahun sebelumnya, pendapatan negara dari pos tersebut masih belum mampu memberikan daya ungkit terhadap penerimaan dan menopang kebutuhan belanja.

Baru-baru ini, pemerintah pada akhirnya mengumumkan bahwa defisit anggaran melebar dari outlook 1,93% dari PDB menjadi 2%-2,2% terhadap PDB yang berdasarkan estimasi Bisnis.com mencapai Rp322 triliun hingga Rp354 triliun.

Meski jauh melebar dari yang dibayangkan sebelumnya, toh pemerintah tidak mengajukan perubahan APBN sebagaimana yang menjadi tren pada 2017 dan tahun-tahun sebelumnya

"Defisit APBN 2019 ditentukan 1,84% dari PDB. Mengapa? Karena didesain agar ada ruang cukup kalau ada sesuatu yang terjadi, kita disini punya buffer," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman belum lama ini.

Pada 2020, defisit anggaran yang telah resmi diundangkan pun lebih rendah dibandingkan dengan 2019. Tahun depan, defisit anggaran ditentukan hanya Rp307,2 triliun atau 1,76% dari PDB.

Tren defisit rendah ini pun menimbulkan pertanyaan. Apakah memang "ruang" yang dibuat oleh pemerintah melalui anggaran dengan defisit rendah memang dimaksudkan untuk meneruskan tren APBN tanpa perubahan sebagaimana yang telah berlanjut sejak 2018? Apakah APBN tanpa perubahan memiliki dampak khusus terhadap perekonomian sepanjang tahun berjalan?

Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menilai bahwa defisit anggaran tahun 2020 yang ditentukan rendah tampaknya memang merupakan langkah pemerintah untuk menghindari APBN Perubahan, terutama perubahan yang disebabkan oleh defisit anggaran yang mendekati batas maksimal yakni 3% terhadap PDB.

"Mungkin ini berkaca pada tahun-tahun sebelumnya di mana ketika anggaran langsung di-setting di 2% lebih dari PDB, ruang pemerintah untuk bermanuver sempit," ujar Eko, Senin (28/10/2019).

Menurut Eko, langkah tersebut dilakukan pemerintah dalam rangka menekan aspek politis dari anggaran.

Apakah pelaksanaan APBN tanpa perubahan memberikan stimulus khusus pada perekonomian? Eko menilai APBN tanpa perubahan masih belum memberikan stimulus ataupun optimisme kepada pasar, tetapi langkah ini memang meningkatkan stabilitas serta kredibilitas fiskal pemerintah.

Namun, pelaksanaan APBN tanpa perubahan bisa saja berguna pada situasi-situasi tertentu. Pelaksanaan APBN tanpa perubahan pada satu sisi mampu memitigasi volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah yang serta meredam dampak dari gejolak global terhadap perekonomian domestik.

Meski demikian, APBN tanpa perubahan yang pada saat bersamaan diatur dengan defisit yang rendah juga mengimplikasikan bahwa daya dorong instrumen fiskal terhadap perekonomian juga akan rendah.

Konsekuensinya, asumsi pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,3% bisa tidak tercapai dan turut menekan penerimaan pajak sehingga lagi-lagi pelebaran defisit pada tahun ini akan kembali terjadi pada tahun depan.

Di lain pihak, Direktur Riset CORE Piter Abdullah menilai perubahan APBN memang tidak harus dilakukan bahkan apabila asumsi-asumsi APBN jauh meleset dari yang tertuang.

Meski demikian, hal ini memiliki konsekuensi angka-angka yang tertuang di dalam APBN menjadi kurang kredibel sebagai acuan.

Namun, apabila memang target dan asumsi APBN meleset jauh dan terus menggerus kredibilitas APBN, maka perubahan atas APBN harus tetap dilakukan agar angka-angka di dalam APBN tetap kerdibel dan menjadi cerminan arah kebijakan pemerintah.

"Pelaku ekonomi akan membaca arah kebiakan pemerintah menstimulus perekonomian berdasarkan angka-angka di APBN, apabila angkanya tidak lagi kredibel maka pelaku ekonomi tidak bisa membaca arah kebijakan pemerintah," ujar Piter, Senin (28/10/2019).

Untuk tahun 2020, Piter mengatakan bahwa pemerintah perlu segera mengajukan perubahan atas APBN. Hal ini dikarenakan posisi APBN 2020 tidak mencerminkan bahwa pemerintah ingin menstimulus pertumbuhan ekonomi, terbukti dengan defisit yang dipasang rendah pada angka 1,76% dari PDB.

Di tengah perlambatan ekonomi global, pemerintah seharusnya memberikan sinyal bahwa kebijakan fiskal akan countercyclical dengan melonggarkan pajak, meningkatkan belanja, dan berkonsekuensi dengan melebarnya defisit anggaran.

Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Lana, pasar cenderung tidak merespons apakah pemerintah mengajukan perubahan atas APBN atau tidak.

Pasar baru merespons apabila pemerintah merealisasikan defisit anggaran lebih dari yang ditentukan oleh UU yakni lebih dari 3% dari PDB.

"2018 defisitnya di bawah asumsi pemerintah, 2019 di atas. Kalau masih 3% dari PDB itu masih oke karena UU-nya mengatur sebesar 3%," ujar Lana, Senin (28/10/2019).

Namun, Lana mengatakan bahwa apabila pemerintah memang mengajukan perubahan atas APBN maka pemerintah perlu bergerak cepat dan tidak mengajukannya setelah kuartal II tahun berjalan.

Apabila dilaksanakan setelah kuartal II, perubahan atas APBN akan mengganggu kinerja belanja pemerintah sehingga serapan anggaran pun menjadi rendah.

Lana juga mencatat bahwa defisit anggaran memang perlu dijaga rendah karena defisit anggaran berkorelasi terhadap utang.

Kebijakan fiskal yang ekspansif dengan defisit anggaran yang tinggi tidak menjamin belanja pemerintah akan berkualitas dan mengungkit perekonomian.

Oleh karena itu, defisit di bawah 3% dari PDB dan rasio utang yang per Agustus 2019 mencapai 29,8% dari PDB perlu dijaga untuk mempertahankan rating investasi pemerintah yang baru-baru ini mengalami peningkatan peringkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Muhamad Wildan
Editor : Achmad Aris

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper