Ada pertanyaan menggelitik dari seorang warga. Nia, begitu nama panggilannya. “Bagaimana warga negara sipil seperti saya ini menyikapi perubahan kabinet baru? Apa yang dapat kita expect dari sini, terutama warga negara yang tidak terlalu paham tentang politik? Bahkan mungkin warga negara yang jauh dari sumber berita dan tidak paham politik sama sekali?”
Pertanyaan itu dikemukakan dalam forum virtual BisnisCommunity, yang diasuh oleh tim media sosial Bisnis.com, platform digital koran Bisnis Indonesia.
Selain dari Nia, beberapa pertanyaan lain juga mengemuka, dalam sesi Ngobrol Ringan secara virtual, Kamis (24/10) petang. Durasi ngobrol itu hanya sekitar 1 jam.
Kebetulan saya diminta menjadi narasumber tunggal untuk diskusi itu. Diskusinya menarik. Apalagi kebanyakan member komunitas itu kaum milenial. Namun bukan sembarang milenial, melainkan milenial yang peduli bisnis. Dan ekonomi.
Untuk pertanyaan di atas, saya menjawab dengan cara sederhana. Kira-kira demikian. Perubahan kabinet, baik paruh waktu dan antarwaktu (yang dikenal dengan istilah reshuffle) atau penuh waktu seperti sekarang ini, merupakan suatu dinamika biasa saja dalam proses politik, sejalan dengan periode jabatan dan visi Presiden dalam mewujudkan tujuan politiknya.
Tantangan di setiap periode waktu kan selalu berubah. Kondisi ekonomi selalu dinamis, kondisi sosial politik juga berubah, begitu juga teknologi dan perilaku masyarakat yang mengalami pergeseran-pergeseran. Karena itu, perlu tokoh-tokoh yang berbeda, yang memiliki kapasitas yang sesuai dengan tantangan perubahan itu.
“Jadi santai saja Mbak Nia,” begitu saya katakan.
Yang penting, kita kasih kesempatan mereka, para menteri itu, bekerja yang terbaik. Selalu, ekspektasi atau harapan kita, para menteri ini mampu mewujudkan cita-cita dan tujuan politik di berbagai bidang. Terutama penciptaan lapangan kerja, jaminan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, dan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Lalu, seiring dengan perjalanan waktu, publik akan melihat mana menteri yang mampu bekerja dengan baik dan mana yang kurang maksimal.
Untuk yang kurang baik, nanti diingatkan dan terus diberi masukan. “Entah melalui media, atau langsung dari masyarakat melalui saluran yang ada di sosial media, misalnya, tanpa harus menghujat atau membenci…”
Demikian kurang lebih jawaban saya.
***
Di tengah masyarakat, tentu banyak Nia yang lainnya. Banyak yang ingin tahu, bahkan kepo, meminjam istilah milenial sekarang ini. Tak mengherankan. Bahkan, di banyak komunitas diskusi di grup-grup aplikasi pesan, pembahasan mengenai anggota kabinet dan menteri baru ini bukan main dahsyatnya.
Nyaris tiada hari, bahkan tiada jam yang kosong dari pembahasan itu, sejak beberapa pekan lalu. Aneka spekulasi tentang susunan anggota Kabinet Indonesia Maju, begitu nama Kabinet periode kedua Pak Jokowi, panggilan akrab Presiden Joko Widodo, kencang sekali.
Sebelum pengumuman Kabinet Baru pada Rabu pagi, tiga hari setelah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dilantik di hadapan anggota MPR pada 20 Oktober lalu, drama calon menteri bertiup kencang sejak Senin hingga Selasa.
Pada dua hari itu, Pak Jokowi mulai memanggil sejumlah kandidat menteri, dengan sejumlah kejutan, juga kekecewaan. Hingga pada akhirnya, drama itu berakhir dengan pengumuman pada Rabu (23/10) pagi. Dan menyisakan sejumlah drama lainnya.
Namun, saya tidak berniat membahas drama-drama itu. Buat saya, membahas realitas yang sudah ada jauh lebih menarik. Utamanya menyangkut tim ekonomi yang baru.
Ini karena, buat saya, “ekonomi adalah koentji”. Mengapa? Ultimate goal dari proses politik adalah kesejahteraan dalam bentuk riil: kesejahteraan ekonomi. Terminologi yang lazim adalah kemakmuran. Bangsa yang makmur. Ditambah lagi: adil dan merata.
Wujud kemakmuran, lazimnya diukur dari rendahnya bahkan absennya kemiskinan. Kemiskinan akan hilang, kalau masyarakat memiliki penghasilan, yang menjadi katalis untuk daya beli. Mulai dari beli kebutuhan pokok berupa pangan dan sandang. Juga perumahan dan kebutuhan lainnya, sehingga bisa dibilang tidak lagi miskin.
Penghasilan tentu didapat dari pekerjaan, baik formal maupun informal. Juga kewirausahaan, mulai dari skala mikro, kecil-menengah, hingga skala besar. Kelompok yang terakhir inilah yang pada akhirnya menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga warga masyarakat memiliki penghasilan dan daya beli.
Ini seperti siklus lingkaran yang akan saling menopang. Masyarakat yang berdaya beli akan menjadi insentif atau menciptakan ekosistem bagi jalannya perusahaan yang lebih baik karena produk dan jasanya akan laku terjual.
Perusahaan atau wirausahawan yang mampu menjual produk dan jasa dengan pertumbuhan yang baik, tentu akan mampu menciptakan lapangan kerja lebih lanjut, dan membayar pajak, sehingga menjadi penopang untuk pembangunan, seperti infrastruktur dan membiayai penyelenggaraan negara.
Begitu seterusnya, sehingga mesin ekonomi akan berputar kian kencang.
Setelah itu, dengan redistribusi aktivitas ekonomi ke seantero wilayah negara, kemakmuran akan tersebar lebih merata.
Itulah sebenarnya, gambaran sederhana melihat ultimate goal dari proses politik dan penyelenggaraan negara.
Maka, lalu sederhana saja pertanyaannya. Apakah menteri-menteri ekonomi baru yang dilantik Presiden Jokowi Rabu (23/10) lalu akan mampu mewujudkannya?
***
Itulah esensinya. Maka, posisi tim ekonomi yang baru ini menjadi kian penting.
Intinya, tim ekonomi dengan komando dua Menko, Airlangga Hartarto dan Luhut Binsar Panjaitan, memiliki pekerjaan rumah yang berat.
Rasanya tak perlu membahas pula semuanya satu demi satu. Bolehlah ambil sampel saja. Kementerian Keuangan yang tetap dipimpin Sri Mulyani, rasanya masih tetap perlu mempertahankan kebijakan dan strategi fiskal yang konsolidatif. Pasalnya, kondisi domestik dan eksternal sedang dalam situasi “galau”.
Tantangan defisit transaksi berjalan rasanya masih akan menghantui, begitu pun penerimaan pajak yang rasanya penuh risiko. Dengan kata lain, mengharapkan strategi fiskal yang lebih ekspansif, dalam satu dua tahun ke depan, rasanya masih menjadi tanda tanya besar. Kecuali muncul terobosan yang berarti. Jangan-jangan akan ada lagi tax amnesty.
Kunci geliat ekonomi, bagi saya, adalah di sektor riil. Investasi yang berorientasi ekspor dan menciptakan lapangan kerja, menjadi sangat strategis. Tentu, insentif fiskal saja akan percuma. Kemudahan perizinan juga bukan jaminan. Intinya, iklim investasi secara keseluruhan perlu dibangun, termasuk dan terutama, kestabilan politik, kepastian hukum dan terutama yang terkait dengan cost: isu-isu ketenagakerjaan.
Dalam konteks itulah, koordinasi di lingkup Kemenko Perekonomian menjadi kata kunci. Menteri Perdagangan, Perindustrian, Ketenagakerjaan, serta Keuangan tidak bisa sendiri-sendiri. Perlu sejalan dan seirama, dan bersambut dengan BKPM (Kementerian Investasi), Pariwisata, Transportasi serta Energi dan Sumberdaya Mineral.
Juga pembangunan infrastruktur di bawah Kementerian PUPR. Infrastruktur tak boleh mandeg, karena akan menentukan efisiensi distribusi dan logistik nasional, serta konektivitas dan aksesibilitas industri serta dan terutama pariwisata.
Klaster dari tim ekonomi ini sangat strategis, dalam mengungkit kembali daya saing dan investasi besar yang mampu menciptakan lapangan kerja, meng-generate ekspor, sekaligus meninggalkan ketergantungan impor dalam arti sebenarnya. Juga menjadi sumber devisa.
Tantangan besar juga terlihat di Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang kini dipimpin oleh Edhy Prabowo. Susi Pudjiastuti, pendahulu Edhy Prabowo, telah mewariskan legacy yang kuat dengan kesuksesan memberantas ilegal fishing dan membuat Indonesia lebih kaya stok ikan.
Laut Indonesia tidak lagi dijarah oleh nelayan ilegal asing. Ini warisan penting dari Bu Susi. Maka, tantangannya saat ini dan ke depan adalah menindaklanjuti keberhasilan Susi, untuk membangun industrialisasi perikanan yang bernilai tambah dan berorientasi ekspor.
Begitu pula di Kementerian BUMN. Selama lima tahun terakhir, pengelolaan BUMN berubah cukup signifikan. Rini Soemarno, pendahulu Erick Thohir, berhasil melakukan transformasi dan sinergi BUMN hadir untuk negeri.
Pembangunan infrastruktur bisa berjalan ngebut antara lain karena peran BUMN melalui langkah sinergi tersebut. Bukan hanya dalam fase konstruksi, tetapi juga dalam pembebasan lahan serta model pembiayaan yang baru.
Tantangan Erick Thohir, pengganti Rini, tentu melanjutkan transformasi BUMN dan memperkuat agenda yang belum terealisasi selama lima tahun ini. Termasuk menuntaskan holdingisasi BUMN agar lebih efisien dan menjadi perusahaan besar.
Dengan begitu, BUMN akan memiliki leverage yang kuat untuk ekspansi global.
Tentu, menjaga kelanjutan sinergi BUMN amat penting, terutama dalam pembangunan infrastruktur yang massive, selain terus memperkuat governance, tanpa mengorbankan orientasi pada hasil.
Khusus di sektor Energi, rasanya perlu lebih banyak terobosan lagi dan juga langkah-langlah yang transfromatif. Investasi energi perlu lebih digenjot. Penting untuk secara efektif mampu memanfaatkan kekayaan energi domestik, bagi kepentingan konsumsi domestik maupun penciptaan nilai tambah untuk ekspor.
Juga energi bersih dan terbarukan, serta aplikasi teknologi baru dalam konsumsi energi yang selama ini lebih berbasis pada bahan bakar fosil. Transformasi di sektor energi ini rasanya, akan memberi landasan lebih kuat bagi Indonesia baru di masa mendatang.
Tak kalah penting adalah sektor pertanian. Korporatisasi pertanian, seperti dilakukan Thailand sejak beberapa dekade lalu, semestinya dapat diterapkan pula di Indonesia. Selain itu, sejalan dengan tantangan alihfungsi lahan, bukan tidak mungkin isu ketahanan pangan dapat diatasi dengan aplikasi teknologi serta smart farming.
Isu kesejahteraan petani tampaknya dapat pula coba diselesasikan melalui campurtangan ekonomi digital dalam distribusi dan tata niaga. Bahkan kalau perlu menggunakan big data dalam manajemen stok maupun perencanaan tanam aneka komoditas pertanian.
Jangan lupa pula memperkuat perhatian kepada ekonomi desa. Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal rasanya kini menjadi salah satu “center” dari pertumbuhan ekonomi pedesaan.
Tampaknya perlu reorientasi penggunaan dana desa, tidak lagi sebatas dan semata untuk infrastruktur desa, namun bisa lebih luas untuk pembiayaan aktivitas ekonomi dan pengembangan kewirausahaan dan pariwisata desa.
Kalau hal itu bisa dilakukan, rasanya akan menambah quick win bagi desa-desa di Indonesia untuk tumbuh menjadi sentra-sentra ekonomi baru, yang akan menjadi power luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi regional dan nasional.
***
Namun bukan berarti menteri di bidang non ekonomi tidak memiliki peran penting. Kita tahu, kondisi politik dan hukum menjadi prasyarat utama supaya roda ekonomi bisa bekerja dengan maksimal.
Bukan sekadar stabilitas politik dan penegakan hukum semata, tetapi lebih dari itu. Maka, saya tidak kaget ketika Partai Gerindra masuk dalam koalisi Pak Jokowi. Bahkan, Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra, menjadi Menteri Pertahanan.
Sejak awal setelah selesai Pemilu, kira-kira sekitar akhir Mei lalu, Presiden Jokowi memang sudah berniat menggandeng Gerindra, untuk masuk koalisinya.
Tujuannya, untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan, dengan dukungan yang lebih kuat oleh legislatif. Agar proses pengelolaan pemerintahan bisa berjalan lebih efektif. Ini termasuk dalam memperbaiki berbagai undang-undang yang memudahkan investasi, mendorong ekonomi, memudahkan penciptaan lapangan kerja, dan mendorong iklim bisnis lebih baik, termasuk perbaikan ekosistem ketenagakerjaan.
Saya kira, koalisi yang kuat bukan berarti kemunduran demokrasi. Proses check and balances tetap bisa berlangsung dengan aneka saluran. Proses check and balances tak perlu pula harus membuat suasana gaduh dan akhirnya justru tidak bisa bekerja dengan efektif. Kalau tidak beruntung, investor pun bahkan kabur akibat aneka kegaduhan yang terlahir dari berbagai dinamika politik.
Apalagi di era kemajuan teknologi sekarang ini, saluran komunikasi dan informasi tidak seperti jaman jadul dulu, di mana semua hanya melihat koran, atau menunggu komentar anggota DPR untuk mengritik pemerintah melalui media tradisional.
Sekarang ini, nyaris semua orang memiliki kesempatan mengritik pemerintah, tinggal pencet gadget. Publik bisa langsung menyampaikan kritik atau masukan apa saja. Tersebar cepat, bahkan realtime, dan massive.
Buat saya, cara itu jauh lebih bagus dan efektif. Yang penting, berikan kritik yang konstruktif, atas dasar niat baik dan bertanggungjawab.
Bukan seperti yang sering kita alami selama ini, atas nama check and balances, kebebasan berpendapat dan demokrasi, bebas tanpa batas untuk bersuara apa saja meski menghujat, memfitnah dan menebar kebencian. Bahkan menebar hoaks.
Poin tersebut rasanya ke depan perlu menjadi salah satu prioritas dari Kemenkoinfo yang baru, bagaimana mengelolanya dengan lebih baik.
Pasalnya, aneka kegaduhan akibat disinformasi publik yang memanfaatkan kebebasan berbendapat tanpa batas dengan teknologi informasi selama beberapa tahun terakhir ini telah menyandera berbagai proses legislasi di DPR.
Bahkan, sejumlah agenda kebijakan pemerintah tidak bisa dijalankan dengan baik, lantaran belum apa-apa sudah ditentang dan diprotes dengan landasan keberatan yang kerap tidak kontekstual.
Maka, stabilitas politik harus solid. Koalisi pun harus solid. Apalagi Presiden Jokowi ingin meningkatkan efektivitas legislasi dengan mengubah banyak undang-undang yang berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja, investasi dan pengembangan usaha kecil serta menengah.
Tanpa koalisi yang solid dan kuat, tentu tak akan mudah untuk mengubah begitu banyak undang-undang, dan kemungkinan banyak yang digabung dan disederhanakan.
Saya ingat persis kata-kata Pak Jokowi, akhir Mei lalu. “Saya ingin ngebut. Nggak mungkin kalau seperti lima tahun ini, proses legislasinya lambat. Hanya 40% RUU yang selesai di parlemen.” Begitu kira-kira.
***
Lalu jangan lupa yang satu ini, soal sumberdaya manusia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah Nadiem Makarim, tugasnya jelas: memperkuat link and match pendidikan dan dunia kerja atau profesional agar nyambung.
Soal itu saya sangat setuju. Namun di luar link and match itu, saya berharap Nadiem mampu membenahi sistem pendidikan nasional dari sudut pandang holistik, agar sumberdaya manusia di masa depan jauh lebih unggul.
Ini dimulai dengan memperkuat landasan norma tatakrama dan etika, menanamkan kapasitas logical thinking dan complex problem solving serta applied knowledge.
Jelasnya begini. Etika dan tatakrama itu nyaris hilang dalam kultur pendidikan saat ini, padahal itu amat penting. Jepang maju antara lain ditopang hal itu.
Lalu kemampuan logika dan complex problem solving saat ini menjadi kapasitas yang juga langka dari lulusan sekolah-sekolah kita. Padahal masalah yang kita hadapi hari ini dan ke depan semakin kompleks. Bahasa strategisnya, VUCA alias volatile, uncertaint, complex dan ambigu.
Soal kapasitas logika ini, tak perlu kasih contoh yang rumit. Yang sederhana saja. Misalnya banyak orang bahkan yang berpendidikan tinggi, sangat mudah termakan hoax, berkomentar sekenanya dan menyebarkannya, karena lebih mengedepankan emosi ketimbang logika.
Lalu soal applied knowledge, ini penting untuk menjadi negara maju, terkait dengan kemajuan dan pemanfaatan teknologi di segala aspek. Mulai bagaimana membuat mesin hingga memanfaatkan teknologi nano. Itu sekadar contoh saja.
Kalau hal itu dapat diramu dengan baik oleh Nadiem Makarim, bersama Menristek yang baru, Pak Bambang Brodjonegoro, tentu Indonesia akan punya modal kuat dalam memanfaatkan bonus demografi dalam dua tiga dekade mendatang.
Maka, saat merayakan usia 100 tahun kemerdekaan nanti, bukan mustahil Indonesia sudah menjadi bangsa yang maju.
***
Kita berharap, Kabinet Indonesia Maju bekerja cepat karena tantangannya begitu kompeks dan tidak mudah. Kabinet Baru diharapkan dapat menciptakan solusi yang semakin relevan dan efektif dalam mendorong ekonomi.
Dalam konteks itu, para menteri baru diharapkan mampu membuat terobosan kebijakan yang signifikan. Saya kok lebih suka menyebutnya ‘model bisnis baru’ dalam pengelolaan ekonomi. Kata Pak Jokowi, berorientasi hasil. Tapi bukan berarti mengabaikan proses.
'Model bisnis baru' dalam pengelolaan ekonomi itu penting, mengingat tantangannya kian kompleks, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri, situasi politik begitu dinamis, juga aneka isu keamanan dan faktor domestik lain yang penuh risiko.
Lalu di luar, hampir semua negara mengalami kesulitan ekonomi. Coba lihat, Jepang pun mengalami kesulitan ekspor. Ekspor Jepang pun drop, terburuk dalam lima tahun terakhir.
Begitu juga Hong Kong, yang baru dilanda demo 4 bulan saja sudah "nangis darah" karena turis sepi. Hotel-hotel kehilangan tamu, dan penjualan ritel drop.
Apalagi Singapura yang amat bergantung dari pasar ekspor yang lesu. Kini, pertumbuhan ekonomi Singapura hampir minus.
Lalu secara global, IMF baru saja mengeluarkan pengumuman, bahwa ekonomi dunia bakal lesu hingga tahun depan.
Di tengah kondisi itu, Indonesia masih bisa tumbuh 5%. Ini semestinya perlu disyukuri. Namun, kita tak boleh cepat puas.
Masih banyak pekerjaan rumah besar, dan berat. Tim Kabinet baru hendaknya dapat mengantisipasi semua perkembangan domestik maupun eksternal itu dengan sudut pandang dan strategi yang pas.
Para Menteri Baru hendaknya mampu belajar dari kekurangan dan kelemahan periode sebelumnya, agar mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi minimal 5%, bahkan semestinya bisa lebih cepat lagi.
Untuk mendorong mesin ekonomi, kuncinya adalah sejauh mana mampu meningkatkan investasi dan menjaga daya beli untuk mempertahankan bahkan meningkatkan konsumsi masyarakat, dengan cara yang ‘halal’.
Maka pemicu utamanya adalah penyediaan lapangan kerja. Dan tampaknya, itulah yang memang mau dikejar oleh Pak Jokowi.
Nah, bagaimana menurut Anda? (*)