Bisnis.com, JAKARTA–Nama Airlangga Hartarto bukanlah nama yang asing dalam dunia usaha dan politik Tanah Air.
Seperti diketahui, dia dipercaya untuk menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian menggantikan Darmin Nasution untuk 5 tahun ke depan. Sebelumnya, Airlangga sendiri sudah menjabat sebagai Menteri Perindustrian mulai Juli 2016 melalui reshuffle kabinet.
Sejak menjadi Menteri Perindustrian, karir Airlangga pun meroket di mana pada saat yang sama yakni per 2017 dia juga dipercaya sebagai Ketua Umum Golkar.
Airlangga sendiri merupakan anak dari Hartarto Sastrosoenarto, sosok yang sudah malang melintang di pemerintahan era Orde Baru dan pernah menjabat sebagai Menteri Perindustrian, Menteri Koordinator Bidang Produksi dan Distribusi, hingga Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara.
Airlangga merupakan lulusan dari Teknik Mesin Universitas Gajah Mada (UGM) pada 1987 dan juga memperoleh gelar Master of Business Administration (MBA) dari Monash University serta Master of Management Technology dari University of Melbourne.
Sebelum malang melintang di kabinet, Airlangga sebelumnya sudah cukup lama berkarier di Gedung Parlemen. Pada 2009 hingga 2014, Airlangga merupakan Ketua Komisi VI DPR RI bidang perdagangan, perindustrian, koperasi, UKM dan BUMN.
Berlanjut pada 2014 hingga 2016, Airlangga juga mengisi di Komisi VII DPR RI yang mengurus soal ESDM, lingkungan hidup, dan riset. Sebagai pengusaha, Airlanggo juga pernah didapuk sebagai Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI).
"[Airlangga] akan bertugas membuat terobosan dan mensinergikan kementerian untuk tingkatkan peluang kerja, turunkan current account deficit [CAD] dan mengembangkan industri berorientasi ekspor dan substitusi impor," ujar Presiden Joko Widodo ketika memperkenalkan menteri-menteri periode 2019-2024 di Istana, Rabu (23/10/2019).
Memang, CAD selalu menjadi sorotan beberapa tahun terakhir karena pada kuartal II/2019 CAD tercatat sudah mencapai level psikologis 3% dari PDB atau sebesar US$8,4 miliar.
Hal ini tidak lain adalah karena kinerja ekspor yang terus tertekan akibat menurunnya harga komoditas sedangkan Indonesia sendiri tidak memiliki produk olahan andalan untuk di ekspor.
Neraca dagang sepanjang 2019 yakni mulai Januari hingga September juga tercatat mengalami defisit pada angka US$1,9 miliar karena impor migas serta nonmigas.
Oleh karena itu, pengembangan industri berorientasi ekspor serta industri yang mampu mengembangkan substitusi impor menjadi tugas besar yang harus diemban oleh Airlangga ke depan.
Merujuk pada Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024, CAD ditargetkan terus tertekan pada angka 2,3% hingga 1,7% dari PDB. Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB juga ditargetkan meningkat menjadi 20% hingga 21,2% dari PDB.
Ekspor dari industri nonmigas ditargetkan tumbuh secara rata-rata mencapai 7,9% hingga 10,8% pada 2020 hingga 2024. Oleh karena itu, industri nonmigas sendiri juga perlu tumbuh mencapai 5,8% hingga 7,5% pada 2020 hingga 2024.
Selain permasalahan CAD dan industrialisasi, Airlangga juga perlu melanjutkan program-program yang sudah dikembangkan oleh Darmin antara lain pengendalian inflasi, mengimplementasikan paket kebijakan ekonomi (PKE), hingga melanjutkan kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR).