Bisnis.com, JAKARTA -- Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) mendorong pemerintah menyusun solusi yang ekstra tegas untuk menyelesaikan masalah defisit neraca perdagangan karena terlanjur bersifat sistemik.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan defisit yang terjadi lebih banyak berada di neraca migas merupakan sebuah persoalan yang tak kunjung usai. Hal itu terakumulasi menjadi penyebab neraca perdagangan defisit selama ini.
Dia pun menilai, perbaikan yang dilakukan juga harus bersifat fundamental. Jika hanya neraca nonmigas yang diperbaiki tanpa diikuti dengan langkah extraordinary di neraca migas.
"Maka persoalan defisit neraca perdagangan sulit untuk diselesaikan,” ujarnya melalui rilis, Kamis (17/10/2019).
Seperti yang diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan bahwa defisit neraca perdagangan periode Januari – September 2019 sebesar US$1,94 miliar, sedangkan untuk periode September 2019, neraca perdagangan defisit sebesar US$160 juta.
Sementara itu untuk neraca nonmigas, periode Januari – September 2019 tercatat surplus sebesar US$4,49 miliar. Berbanding terbalik dengan neraca migas yang defisit sebesar US$6,44 miliar pada periode yang sama.
Dia memerinci hal ini menandakan, defisit neraca perdagangan yang terjadi ini lebih didominasi oleh komponen neraca migas. Meskipun angka defisit neraca migas telah turun dari periode sebelumnya yang masih sebesar US$9,45 miliar.
Arif juga menjelaskan jika perbaikan neraca migas dapat ditempuh melalui penguatan kapasitas produksi dalam negeri, baik minyak maupun gas, termasuk Enhanced Oil Recovery (EOR).
Selain itu, pemerintah juga perlu mempercepat pemakaian sumber-sumber energi baru dan terbarukan seperti tenaga surya, bayu, serta air, juga B30 yang akan berlaku pada 2020, bahkan B100 dalam jangka panjang.
“Insentif perlu diberikan kepada pelaku yang bergerak di bidang energi baru dan terbarukan, sehingga perkembangan energi yang datang dari dalam negeri serta ramah lingkungan, dapat berjalan dengan lebih cepat,” sambungnya.
Terkait dengan komitmen pengembangan energi baru dan terbarukan, Presiden Jokowi telah beberapa kali menegaskan jika Indonesia akan terus bergerak untuk menggunakan jenis energi tersebut.
Pemerintah telah menargetkan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Target tersebut dapat dicapai salah satunya dengan cara memberikan insentif agar ekosistem EBT dapat terus berkembang.
Sementara untuk perdagangan antarnegara, sumbangan terbesar defisit datang dari Tiongkok dengan sektor nonmigas.
Periode Januari – September 2019, defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap Tiongkok sebesar US$13,99 miliar atau masih lebih tinggi dibandingkan dengan defisit periode lalu yang sebesar US$13,95 miliar.
Untuk itu pemerintah harus melindungi sektor-sektor nonmigas yang dapat membantu memperbaiki defisit tersebut.
"Salah satu yang bisa dijaga ialah tekstil. Jangan sampai ada lagi impor ilegal di sektor tekstil. Sehingga produksi tekstil di dalam negeri dapat bersaing,” kata Arif.
Selanjutnya, pemerintah juga perlu melakukan subtitusi impor untuk beberapa industri seperti industri telekomunikasi, agar defisit neraca perdagangan tidak semakin dalam.
Arif pun berpendapat untuk lima tahun ke depan Presiden perlu memilih pembantu ekonomi yang memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional di bidang perdagangan. Dia juga mengingatkan para pembantu presiden yang baru kelak harus mampu bekerja untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan agar minimal dapat seimbang, lebih baik lagi jika dapat menjadi surplus.
“Kebijakan perdagangan yang memihak kepentingan nasional, seperti dukungan terhadap produksi dalam negeri harus menjadi fokus ke depan melalui diplomasi perdagangan, baik yang bersifat tarif maupun non tarif,” pungkas Arif.