Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku industri makanan dan minuman (mamin) terancam berhenti produksi bila proses pengalihan kuota garam impor dari sektor kimia tak kunjung rampung.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) Adhi S. Lukman menjelaskan pemerintah memutuskan untuk mengalihkan sejumlah kuota garam impor dari sektor kimia ke industri mamin yang kekurangan bahan baku. Saat ini Kementerian Perdagangan masih melakukan alih perizinan.
Adhi mengatakan Kemendag sudah menyetujui izin tersebut. Namun, dia memperkirakan bila izin itu tak kunjung keluar dalam dua pekan ke depan, pelaku usaha mamin bisa berhenti berproduksi.
"November ini agak riskan. Kalau izin tidak keluar dalam satu atau dua minggu ke depan, kemungkinan beberapa sektor akan kekurangan," katanya kepada Bisnis, Kamis (17/10/2019).
Adhi mengatakan sejumlah pelaku usaha mamin, seperti produsen mi instan dan biskuit, akan paling awal terdampak lantaran kekurangan bahan baku tersebut. Oleh karena itu, dia berharap proses alih perizinan itu bisa segera rampung.
Dia menjelaskan pada tahun ini sektor mamin sebenarnya memiliki kebutuhan garam impor sebesar 500.000 ton. Pemerintah sendiri sudah menetapkan kuota impor garam mencapai 2,7 ton.
Dari total kuota itu, katanya, sektor mamin mendapatkan porsi impor hingga 330.000 ton. Dengan kebutuhan yang masih besar, pemerintah pun memutuskan untuk mengalihkan kuota dari sektor lain kepada industri mamin.
"Dalam rapat koordinasi disepakati industri mamin dapat dari kuota sektor lain dan sudah disepakati dari industri kimia," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Fridy Juwono mengatakan pemerintah tidak mau menambah kuota impor garam pada tahun ini, meski sektor mamin butuh tambahan pasokan.
Sebagai solusinya, katanya, Kementerian meminta agar sektor klor alkali (chlor alcali plant/CAP) untuk mengalihkan kuotanya kepada industri mamin. Kemenperin mendata industri CAP membutuhkan lebih dari 2,5 juta ton garam dengan kadar natrium chlorida (NaCl) lebihi dari 96%.
“Ternyata ada peluang [untuk merelokasi garam dari industri CAP ke mamin]. Mereka tidak bisa merealisasikan [serapan garam] karena produksi tidak tercapai karena ada kejadian blackout PLN. [Kuota garam untuk produksi selama] tiga minggu kami geser [ke industri mamin],” kata Fridy.