Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UMP 2020 Naik 8,51%, Pengusaha Khawatir Beban Industri Makin Berat

Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2020 sebesar 8.51% dianggap cukup memberatkan bagi pelaku industri lantaran tidak sebanding dengan produktivitas pekerja di Indonesia.
Aktivitas karyawan di pabrik karoseri truk di kawasan industri Bukit Indah City, Purwakarta, Jawa Barat, belum lama ini. Selain kebutuhan lapangan kerja yang semakin besar, produktivitas industri manufaktur dinilai perlu lebih digenjot guna menghindari ancaman jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap. /Bisnis-NH
Aktivitas karyawan di pabrik karoseri truk di kawasan industri Bukit Indah City, Purwakarta, Jawa Barat, belum lama ini. Selain kebutuhan lapangan kerja yang semakin besar, produktivitas industri manufaktur dinilai perlu lebih digenjot guna menghindari ancaman jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap. /Bisnis-NH

Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2020 sebesar 8.51% dianggap cukup memberatkan bagi pelaku industri lantaran tidak sebanding dengan produktivitas pekerja di Indonesia.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Ketenagakerjaan Anton Supit mengatakan dalam 5 tahun terakhir, kenaikan UMP secara rata-rata sudah mencapai lebih dari 40%.

“Jadi begini, itu kan sesuai Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang Pengupahan, itu kalau dari 2016, kenaikan [UMP hingga saat ini] sudah 40% lebih, yang pasti produktivitas tidak naik sebesar itu,” kata Anton kepada Bisnis.com, Kamis (17/10/2019).

Selama ini, sebutnya, kenaikan UMP yang terjadi tiap tahun menjadi keluhan para pengusaha khususnya pengusaha kelas menengah terlebih di daerah-daerah industri yang sudah dianggap memiliki upah tinggi seperti Karawang, Bekasi.

Anton menjabarkan gaji di Karawang lebih besar dibandingkan dengan gaji pekerja di Johor, Malaysia dan Vietnam. Dalam perhitungan Bisnis.com, jika besaran UMP tahun depan sebesar 8,51% diterapkan di Karawang, upah para pekerja di daerah itu pada 2020 diproyeksikan bisa mencapai sekitar Rp4.594.324 dari Rp4.234.010 pada tahun ini.

Kendati demikian, dia tak memungkiri adanya patokan besaran UMP dari pemerintah memberikan kepastian bagi dunia usaha.

“Namun, kami tidak ada pilihan lain karena ekonomi lagi jelek, sehingga ada juga pengusaha yang mengeluh dengan kenaikan tersebut. Di daerah yang sudah tinggi seperti Karawang, Bekasi itu otomatis juga harus mengikuti. Nah, jadi kami enggak ada pilihan lain, daripada nanti tambah rumit, paling tidak sudah ada kepastian.”

Saat ini, imbuhnya, yang paling penting dilakukan adalah bagaimana pemerintah bersama pelaku usaha mempertahankan atau bahkan menambah peluang kerja di Indonesia, sehingga angka pengangguran dapat ditekan.

 “Kita juga defisit [neraca] perdagangan, sehingga kita juga butuh pekerjaaan itu ada untuk mengurangi defisit. Jadi harus dilihat secara banyak perspektif. Toh,  buruh kan juga gak dirugikan, paling tidak lebih dari inflasi dan jangan lupa itu hanya berlaku untuk setahun. Saya kira yang paling serius itu masalah lapangan kerja.”

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menambahkan besaran kenaikan UMP 2020 memang cukup signifikan di tengah ketidakstabilan ekonomi saat ini. Namun,  dia menilai besaran tersebut sudah sesuai dengan ketentuan PP Pengupahan.

“Jadi tentu saja ini tidak mudah tidak semua bisa memenuhi aturan yang ada. Namun,  kami melihat bahwa memang PP No.78/2015 kan sudah sesuai komitmen antara pemberi kerja dan penerima kerja. Jadi memang harus kami hormati keputusan itu,” kata Shinta.

Dengan demikian, Shina menilai pengusaha perlu berusaha semaksimal mungkin untuk bisa memenuhi aturan tersebut. Akan tetapi, dia meminta pemerintah tidak menambah beban pengusaha dengan tambahan biaya-biaya lainnya.

“Mungkin untuk pemerintah supaya jangan ada tambahan biaya lain lagi yang bisa menambah beban perusahaan yang ada, karena kan nilai segitu sudah cukup besar untuk keadaan seperti ini.”

Terkait dengan dampak terhadap konsumsi, menurutnya, kenaikan UMP yang dimulai pada 2020 tak sepenuhnya akan memengaruhi daya beli masyarakat. Sebab, tidak semua penghasilan yang didapatkan pekerja akan digunakan untuk konsumsi. Terlebih, tren konsumsi saat ini sudah beralih dari belanja barang ke belanja leasure dan experience.

“Saat ini kita kembali lagi mesti ingat pada situasi ekonomi secara menyeluruh jadi itu mungkin harus jadi perhatian kita juga, karena dalam satu sisi bisa juga ada kenaikan harga. Nah makanya kita harus perhatikan banget efisiensi, apalagi perusahaan besar efisiensnya juga harus baik.”

Anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira mengatakan besaran kenaikan tersebut cukup wajar. Namun, dia tak menampik jika cukup memberatkan bagi pelaku usaha, apalagi ekonomi domestic tengah lesu.

Ditambah lagi, banyak indikator makro yang tidak tercapai seperti neraca perdagangan dan investasi. Belum lagi, Indonesia juga terkena imbas dari masalah ekonomi dunia. Sehingga kenaikan UMP tersebut menjadi disinsentif bagi industri domestik.

 “Dengan kenaikan UMP 8,51% ini ya mau tidak mau akan memberatkan dunia usaha. Kita lihat juga banyak pemutusan hubungan kerja (PHK), jadi kalau menurut saya sektor industri kita gak tumbuh, itu yang jadi problem utama. Otomatis kenaikan ini jadi disinsentif, biaya makin naik.”

Untuk itu, dia berharap adanya kenaikan ini juga diimbangi dengan diberikannya insentif bagi pelaku usaha seperti bebas bea masuk untuk impor bahan baku.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper