Pekan lalu penulis menjadi pembicara konferensi Tax Aspects of the Brain Drain di Serbia. Brain drain adalah situasi di mana suatu negara dirugikan atas migrasi sumber daya manusia (SDM) unggulnya ke negara lain. Kerugian itu mencakup hilangnya kesempatan mencapai kinerja ekonomi yang lebih baik.
Salah satu kesimpulan mengejutkan konferensi tersebut adalah kian sengitnya kompetisi antarnegara dalam memperebutkan SDM unggul. Menariknya, dalam satu dasawarsa terakhir, banyak negara mulai menggunakan instrumen pajak untuk menarik individu bertalenta tinggi.
Penyebab utama meningkatnya migrasi internasional terletak adalah perbedaan struktur demografi. Setelah 2010, sebagian besar negara maju masuk fase populasi menua dan menurunnya penduduk usia kerja (Odzen dan Schiff, 2006). Akibatnya, ketersediaan SDM unggul di negara maju kian langka.
Di sisi lain, jumlah SDM unggul di negara berkembang belum maksimal. Kondisi ini akhirnya memicu kompetisi perebutan SDM unggul. Tidak mengherankan jika selama satu dasawarsa terakhir, sekitar 10% penduduk Eropa Timur dan Balkan beremigrasi ke Eropa Barat.
Pajak ternyata turut mengeskalasi kompetisi. Pertama, maraknya rezim khusus bagi ekspatriat. Seperti Beckham Law di Spanyol pada 2005. Pada rezim itu, SDM berkeahlian khusus bisa menikmati fasilitas tarif PPh individu yang flat dan pengecualian pajak atas penghasilan yang diperoleh di luar Spanyol.
Kedua, insentif pajak bagi SDM unggul untuk kembali ke negara asal. Misalnya, insentif pajak Malaysia untuk mengundang pulang warganegara yang beremigrasi ke luar negeri. Melalui Malaysian Returning Expert Program yang diperkenalkan 2011, program ini berhasil menarik pulang 5.024 SDM unggul.
Ketiga, pungutan pajak untuk mencegah SDM bermigrasi ke negara lain atau exit tax. Exit tax umumnya menyasar kelompok high net worth individuals dan mencegah perpindahan status Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) yang didorong motif pajak. Skema ini populer di negara-negara Eropa.
Keempat, SPDN berbasis kewarganegaraan. Melalui konsep yang diadopsi Amerika Serikat ini, negara bisa memajaki warganya di manapun berada. Terakhir, pemberian warga negara bagi individu dengan kemampuan ekonomi tertentu. Kebijakan ini bisa ditemukan di Grenada, Malta, Siprus, dan Dominika.
Perspektif Indonesia
Mulai tahun depan, Indonesia akan menikmati bonus demografi. Dominasi penduduk usia kerja itu tidak otomatis menggenjot produktivitas ekonomi. Tanpa lapangan kerja cukup dan ruang ekspansi layak, bonus demografi justru berisiko bagi meningkatnya pengangguran dan era upah rendah.
Bahaya lain adalah meningkatnya pengangguran terdidik. Data BPS (2018) menunjukkan 1 di antara 7 pengangguran berpendidikan tingkat lanjutan. Kedua hal itu bisa mendorong emigrasi SDM unggul Indonesia ke luar negeri, apalagi dengan kompetisi perebutan SDM unggul yang makin intens.
Selain menciptakan iklim ekonomi yang kondusif, meningkatkan kualitas SDM, dan menyediakan lapangan kerja bagi SDM unggul, setidaknya terdapat empat hal yang perlu dipertimbangkan Indonesia pada arena pajak.
Pertama, instrumen pajak yang bisa memperkuat keterkaitan antara pendidikan tinggi dan kebutuhan industri. Kehadiran insentif superdeduction untuk kegiatan vokasi yang diatur PMK Nomor 128 Tahun 2019 adalah salah satunya. Ada baiknya ketentuan serupa bisa diperluas seiring dengan kebutuhan.
Kedua, mengesampingkan ide rezim pajak ekspatriat. Pembentukan rezim ekspatriat, hingga derajat tertentu bisa dijustifikasi, tetapi seharusnya tidak berlaku umum. Isunya bukanlah asing atau non-asing, tapi menjamin agar SDM unggul Indonesia diberikan kesempatan yang setara.
Ketiga, mendesain insentif bagi SDM unggul Indonesia yang siap pulang kampung. Skema ini harus menarik dan mengompensasi keuntungan yang telah/akan mereka dapatkan di luar negeri. Keempat, mengangkat isu brain drain dan mobilitas individu dalam agenda pembangunan global.
Kompetisi pajak memperebutkan SDM unggul sudah di depan mata. Sebelum terlambat, langkah antisipatif harus diambil untuk mencegah brain drain. Apalagi pembangunan SDM juga menjadi salah satu dari visi Presiden Joko Widodo pada periode keduanya.