Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Ketahanan Pangan Indonesia

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai pertumbuhan ini patut diapresiasi. Namun, indeks yang masih berada di bawah 60 disebutnya sebagai sinyal bahwa kondisi pangan nasional masih dalam kondisi rentan. 
Pedagang menata beras di Pasar Tradisional Pinasungkulan, Manado, Sulawesi Utara, Senin (29/4/2019)./ANTARA-Adwit B Pramono
Pedagang menata beras di Pasar Tradisional Pinasungkulan, Manado, Sulawesi Utara, Senin (29/4/2019)./ANTARA-Adwit B Pramono

Kondisi Masih Rentan

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai pertumbuhan ini patut diapresiasi. Namun, indeks yang masih berada di bawah 60 disebutnya sebagai sinyal bahwa kondisi pangan nasional masih dalam kondisi rentan. 

“Kalau melihat indeks ketahanan pangan memang membaik, tetapi skornya masih di bawah 60,” kata Faisal dalam acara diskusi, Kamis (10/10/2019). 

Faisal berpendapat masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu dibenahi untuk memperbaiki ketahanan pangan nasional. “Yang perlu diwaspadai adalah kondisi sumber daya alam dan ketahanan. Eksposur kita adalah kenaikan suhu, kekeringan, banjir, badai, dan lainnya,” paparnya. 

Guna mengatasinya, Faisal menilai Indonesia tak bisa hanya mengandalkan kinerja Kementerian Pertanian. Mitigasi terhadap paparan yang mengancam ketahanan pangan di atas merupakan tugas berbagai pihak untuk menjamin ketahanan pangan lebih kuat. 

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa menilai membaiknya indeks ketahanan pangan Indonesia versi GSFI tak lepas dari kontribusi peningkatan volume impor bahan pangan selama 4 tahun terakhir. 

Ia mencatat terdapat kenaikan sampai 5,4 juta ton importasi delapan komoditas pangan selama kurun waktu 2014 sampai 2018. 

“Sebagian besar impor memang dalam bentuk gandum karena konsumsi dalam negeri tinggi. Selain itu harganya juga murah,” kata Dwi kepada Bisnis, Kamis (10/10/2019). 

Dwi mengemukakan ketahanan pangan tak serta merta bisa dikaitkan dengan kemampuan produksi dalam negeri. Pasalnya, aspek yang dinilai untuk mengukur ketahanan pangan lebih berdasarkan pada ketersediaan pangan, daya beli, keamanan pangan, dan daya tahan (resilience). 

“Ketersediaan ini tidak melihat dari mana asalnya, bisa impor maupun produksi sendiri, sedangkan daya beli akan sangat tergantung pada kemampuan ekonomi masyarakat,” ujarnya. 

Peringkat tinggi dalam indeks GSFI sendiri didominasi negara maju dan dipuncaki oleh Singapura. Negara tersebut tak memiliki kemampuan produksi pangan sebagaimana Indonesia. 

Kendati demikian, negara tersebut mampu memenuhi ketersediaan pangan bagi penduduknya lewat importasi. Hal ini menjadi cermin bahwa ihwal ketahanan pangan bukanlah soal kemampuan produksi semata. 

Dwi berpendapat perbaikan peringkat Indonesia tak lepas dari pengaruh ketersediaan pangan yang membaik dan meningkatnya daya beli masyarakat. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper