Bisnis.com, JAKARTA – Penggunaan kemasan sederhana dalam penjualan minyak goreng di pasar tradisional diproyeksikan dapat meningkatkan kapasitas produksi industri minyak nabati.
Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan potensi pasar minyak goreng di pasar tradisional yang dijual secara curah mencapai 4,2 juta ton pada tahun ini. Adapun, 20% dari pasar minyak goreng pasar tradisional tersebut merupakan minyak jelantah.
“Jadi yang dari pabrik itu cuma 3,3 juta ton. Dengan menghilangnya jelantah, berarti produksi naik. Alhasil production cost turun. Maka dari itu, [harga minyak goreng di pasar tradisional diminta] jangan naik. [Kami diminta] cari untung di orang-orang kaya, di ritel modern,” katanya kepada Bisnis, Senin (7/10/2019).
HET minyak curah saat ini berada di posisi Rp10.500 per kilogram, sedangkan HET minyak dengan kemasan sederhana setidaknya berada di posisi Rp11.000. Adapun, Pusat Informasi Harga Pangan Nasional mencatat rata-rata harga minyak curah saat ini dibanderol di harga Rp11.100 per kilogram.
Sahat mengatakan HET untuk minyak goreng dengan kemasan sederhana disepakati pada tiga ukuran, yakni Rp11.500 untuk ukuran 1 Kilogram, Rp6.000 untuk ukuran 0,5 kilogram, dan Rp3.250 untuk ukuran 0,25 kilogram. Adapun, HET bagi minyak goreng di pasar modern dapat mencapai Rp13.000—Rp14.000 untuk menyesuaikan margin.
Untuk menekan biaya produksi, pihaknya akan memanfaatkan usulan Kementerian Perdagangan untuk menggunakan mesin Anjungan Minyak Goreng Higienis Otomatis (AMH-o) yang dikembangkan PT Pindad dan PT Rekind melalui anak usahanya PT Rekayasa Enegneering.
Sahat menyatakan mesin tersebut akan membuat proses pengemasan minyak goreng dilakukan oleh peritel. Adapun, produsen minyak goreng akan menyerap mesin tersebut dan disebar ke peritel-peritel tradisional di penjuru negeri. Menurutnya, modal awal yang akan dikeluarkan akan besar, namun jangka break event point mesin tersebut hanya sekitar 1,5 tahun.
Sahat menilai penggunaan AMH-o pada peritel di pasar tradisional dapat menjadikan biaya logistik dari gundang ke peritel lebih rendah sekitar Rp1.300per 60 Kilometer. Selain itu, pengemasan minyak goreng dengan kemasan sederhana di pabrikan memiliki potensi kerugian yang cukup tinggi dan memiliki kapasitas logistik yang rendah.