Bisnis.com, JAKARTA –Perusahaan harus meningkatkan kewaspadaan di tengah ketidakpastian global guna mencegah risiko gagal bayar yang tinggi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Selasa (1/10/2019).
Sri Mulyani menuturkan, perusahaan harus memperhatikan dinamika lingkungan operasi mereka secara detail. Kondisi perlambatan global mengharuskan tiap perusahaan untuk mengubah asumsi kondisi ekonomi agar perusahaan tetap dapat menghasilkan keuntungan.
Ia melanjutkan, exposure perusahaan terhadap pembiayaan yang dilakukan sebelumnya seperti utang juga berdampak pada biaya yang dikeluarkan serta pembayaran kewajiban.
Ia juga menambahkan penilaian yang dikeluarkan lembaga pemeringkat dapat menjadi peringatan dini yang baik. Hal tersebut akan menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan di perusahaan untuk meningkatkan kewaspadaannya terhadap perubahan kondisi ekonomi.
"Mereka harus meningkatkan kehati-hatian apakah kegiatan korporasi akan memunculkan aliran keuntungan yang diharapkan seperti semula," ujarnya.
Selain itu, Sri Mulyani mengatakan pihaknya terus melakukan monitoring secara konstan kepada BUMN untuk mencegah terjadinya gagal bayar. Kementerian Keuangan juga melihat risiko instrumen fiskal yang digunakan untuk mendukung BUMN dalam menjalankan pembangunan bangsa.
"Kami juga terus melakukan observasi dan komunikasi dengan Kementerian BUMN terkait hal ini," tambahnya.
Sebelumnya, lembaga pemeringkat utang internasional Moody’s Investors Service melaporkan adanya risiko gagal bayar dari perusahaan-perusahaan Indonesia yang berutang di perbankan. Salah satu faktor penyebabnya adalah penurunan kinerja perusahaan dalam meraih keuntungan ditengah ketidakpastian kondisi perekonomian dunia.
Laporan Moody’s mencatat Indonesia dan India merupakan dua negara di kawasan Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar tertinggi. Hasil tersebut didapat dari tes tekanan dengan menggunakan asumsi penurunan 25% laba sebelum bunga dan pajak (EBITDA).
“Di belakang dua negara tersebut, ada SIngapura, Malaysia, dan China yang memiliki risiko gagal bayar yang tidak kalah besar,” kata Asisten Wakil Presiden dan Analis Moody Rebaca Tan pada Senin (30/9/2019).