Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) mendesak agar pemerintah segera menuntaskan permasalahan terkait dengan tagihan klaim BPJS Kesehatan ke rumah sakit mitra. Khususnya rumah sakit swasta yang seluruh biaya operasionalnya ditanggung secara mandiri tanpa ada subsidi layaknya rumah sakit umum (RSU) milik pemerintah.
Wakil Ketua ARSSI Noor Arida Sofiana mengatakan program Supply Chain Financing (SCF) yang ditawarkan tak bisa terus menerus dijadikan solusi permasalahan yang membuat kegiatan operasional rumah sakit terganggu.
Selain itu, tak semua rumah sakit mitra BPJS Kesehatan mendapatkan akses terhadap program pinjaman lunak yang melibatkan sekitar 15 bank karena tak berhasil memenuhi persyaratan yang diminta.
“Tentunya berdampak pada kepada [kegiatan] operasional, gaji karyawan telat, beberapa rumah sakit sampai mengurangi pegawai, bahkan ada rumah sakit swasta yang tutup atau kepemilikannya dijual. Cashflow terganggu, lebih dari tiga bulan tak dibayarkan, program SCF itu hanya sementara, tak bisa terus-terusan dijadikan solusi,” kata Noor Arida kepada Bisnis, Senin (23/9/2019).
Noor Arida menambahkan pihak lain yang ikut terkena imbas dari terlambatnya pembayaran tagihan klaim rumah sakit mitra BPJS Kesehatan adalah perusahaan farmasi. Pasalnya, banyak perusahaan farmasi yang saat ini kekurangan modal lantaran belum mendapatkan pembayaran dari rumah sakit.
“Perusahaan farmasi belum dibayar oleh rumah sakit dan tidak punya modal untuk bisa menyiapkan order dari obat yang dibutuhkan. Stok obat akhirnya berkurang dan yang kita khawatirkan kalau begini terus pelayanan akan terganggu dan menurun mutunya,” ujarnya.
Baca Juga
Sementara itu, Ketua Kompartemen Jaminan Kesehatan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daniel Budi Wibowo mengatakan bahwa BPJS Kesehatan mempunyai kewajiban untuk membayar klaim kepada seluruh rumah sakit mitranya sebesar Rp9,2 trililun setiap bulan. Adapun sekitar Rp7 triliun diantaranya dibayar menggunakan dana yang bersumber dari iuran peserta PBI.
“Jadi setiap bulannya ini masih ada defisit [yang belum terbayarkan] sebesar Rp2 triliun, itu belum akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya,” katanya kepada Bisnis.
Sebagai catatan, sebelumnya Ketua Umum Persi Kuntjoro Adi Purwanto melaporkan bahwa tagihan klaim yang belum dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit mitranya yang sebagian besar adalah anggota Persi per 14 Juli 2019 mencapai Rp6,5 triliun.
Adapun, saat ini tercatat jumlah rumah sakit yang menjadi anggota Persi sebanyak 2.251 baik rumah sakit swasta maupun rumah sakit milik pemerintah.
OPERASIONAL TERGANGGU
Lebih lanjut, Daniel menjelaskan kegiatan operasional di sejumlah rumah sakit tertolong dengan adanya program SCF yang memungkinkan mereka mendapatkan pinjaman dana dari bank dengan mengagunkan tagihan klaim BPJS Kesehatan. Namun, tak sedikit pula rumah sakit yang kegiatan operasionalnya terganggu lantaran tak bisa menggunakan pinjaman tersebut.
“Mungkin karena tidak sesuai, jadi akhirnya tak bisa menggunakan SCF, bagi rumah sakit yang masuk ke dalam kelompok tersebut tentunya akan berat sekali,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Daniel rumah sakit yang menjadi mitra BPJS Kesehatan semakin terpuruk lantaran jumlah pasien yang berkurang akibat program JKN-KIS yang pelayanannya lebih banyak mengandalkan klinik atau fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Adapun hal tersebut dilakukan sebagai upaya mengurangi defisit akibat membengkaknya klaim dari rumah sakit yang notabene besaran tarif kapitasinya lebih besar dibandingkan klinik.
Besaran tarif kapitasi untuk klinik sebagai FKTP adalah sebesar Rp8.000, sedangkan untuk rumah sakit besarannya bervariasi mulai dari Rp10.000 untuk rumah sakit tipe terendah, yakni tipe D pratama.
“Supaya klaimnya turun dengan memaksakan pasien yang bisa dilayani di klinik FKTP harus dilayani di FKTP itu juga berdampak pada kunjungan pasien,” tegas Daniel.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan angka kewajiban pembayaran tagihan klaim oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit mitra jumlahnya terus bergerak. Oleh karena itu, dia tak bisa menyebutkan berapa jumlah pasti tunggakan tagihan klaim yang harus segera dibayarkan kepada rumah sakit mitra oleh BPJS Kesehatan.
Namun yang jelas, menurut Iqbal, kerja sama rumah sakit dengan BPJS Kesehatan sifatnya saling menguntungkan lantaran ada pasal-pasal yang disepakati kedua belah pihak, termasuk jika terjadi keterlambatan pembayaran.
“Berdasarkan regulasi JKN-KIS sudah diatur denda ganti rugi yang harus dibayarkan oleh BPJS Kesehatan sebesar 1% kepada rumah sakit mitra apabila terjadi keterlambatan pembayaran,” katanya.
Iqbal menambahkan, seharusnya rumah sakit mitra BPJS Kesehatan tak lagi mempermasalahkan tagihan klaim yang belum dibayar karena saat ini mereka bisa menggunakan program SCF yang bekerjasama dengan sejumlah bank di Tanah Air, baik bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bank swasta, maupun bank Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).