Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Data Indonesia : Tekanan Global Beri Efek Kurang Baik ke Ekonomi Indonesia

Kondisi perlambatan perekonomian global, antara lain terjadi akibat perang dagang Amerika Serikat dengan China yang hingga saat ini masih berlangsung.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping./Reuters-Kevin Lamarque
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping./Reuters-Kevin Lamarque

Bisnis.com, JAKARTA — Perekonomian Indonesia saat ini dalam kondisi berisiko tinggi saat menghadapi efek dari perlambatan ekonomi global, mengingat indikator-indikator ekonomi sedang mengalami kelesuan. Akibatnya, tekanan dari perekonomian global akan sangat mudah memberikan efek negatif.

Kondisi perlambatan perekonomian global, antara lain terjadi akibat perang dagang Amerika Serikat dengan China yang hingga saat ini masih berlangsung.

“Indonesia sangat mudah terpengaruh, karena daya tahan di dalam negeri juga lemah,” ujar Herry Gunawan, Head of Research Data Indonesia dikutip dari keterangan resminya, Rabu (18/9/2019).

Dia menjelaskan, yang berpeluang terpukul pertama adalah ekspor Indonesia. Saat ini saja, kinerja perdagangan internasional Indonesia belum menggembirakan.

Pada Agustus 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa ekspor Indonesia yang sebesar USD14,28 miliar turun 9,99% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Bahkan secara kumulatif, yaitu Januari-Agustus 2019, turun 8,28% dibandingkan periode serupa tahun sebelumnya.

“Bahkan pada April 2019, neraca perdagangan Indonesia  mencatatkan yang terburuk sepanjang sejarah,” ujar Herry.

Ditambah lagi, katanya dalam kondisi sekarang, banyak negara protektif terhadap pasarnya sebagai antisipasi perlambatan ekonomi global.

Akibat nyata dari kondisi yang dihadapi sekarang, Herry memaparkan, indeks manufaktur Indonesia mengalami penurunan yang cukup tajam. Pada Agustus, posisinya sebesar 49,0 dari 49,6 di bulan selanjutnya.

“Data itu menunjukkan bahwa kondisi industri manufaktur Indonesia sedang sangat lesu,” ujarnya. Dia menjelaskan, indeks tersebut menggambarkan lesunya pesanan barang kepada industri manufaktur, sehingga berdampak terhadap penurunan aktivitas produksi sebagai respons terhadap melemahnya pesanan.

Selain itu, Herry juga menyampaikan bahwa tekanan terhadap perekonomian bukan hanya datang dari neraca perdagangan yang buruk sehingga pada akhirnya menurunkan kualitas neraca pembayaran, tetapi juga posisi keuangan pemerintah yang kurang menggembirakan.

Realisasi penerimaan negara hingga Juli 2019 hanya 49% dari total target. Capaian tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang sudah mencapai 52%.

Lemahnya penerimaan ini, dia menegaskan, sangat mempengaruhi kas pemerintah atau yang biasa disebut dengan keseimbangan primer (primary balance).

Sejak 2012, keseimbangan primer – penerimaan dikurangi belanja (tanpa memasukkan pembayaran utang) – sudah minus.

“Dengan kantong [pemerintah] yang minus itu, jalan yang mungkin diambil oleh pemerintah adalah utang baru dan menurunkan subsidi,” ungkapnya.

Terkait dengan subsidi, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah sudah memastikan untuk mengurangi subsidi energi, terutama untuk bahan bakar minyak (BBM) dan LPG.

Jika pada 2019 nilainya Rp100,7 triliun, kini tersisa Rp70 triliun. “Konsekuensinya kan ada potensi kenaikan harga BBM, yang biasanya diikuti oleh harga barang dengan alasan ongkos transportasi naik,” katanya.

Upaya lain untuk menambal kas yang negatif tersebut, Herry menjelaskan adalah dengan berutang.

“Utang untuk menambal kas yang minus ini kan seperti jebakan ‘lingkaran setan utang’, karena tidak bisa keluar dari jeratan. Melingkar di situ-situ saja, yaitu numpuk utang terus untuk membayar utang juga,” katanya.

Hingga Juli 2019, utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp4.604 triliun. Sebagian besar, yaitu 83% dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Sedangkan dari sisi kewarganegaraan pemberi utang, data Bank Indonesia menyebutkan bahwa 59,27% adalah asing. Kondisi serupa juga terjadi di SBN, yaitu 51,12% dipegang oleh asing. Dominasi tersebut terjadi sejak 2017.

Herry menegaskan, khusus utang melalui SBN, berpotensi memberikan dampak yang cukup serius.  Potensi terjadinya penarikan tiba-tiba (sudden reversal) sangat tinggi, karena “ideologi” investor di portofolio keuangan adalah keuntungan sesaat. Artinya, jika ada potensi keuntungan lebih dari instrumen lain, terutama dari negara lain,  saat itu juga dana di SBN bisa dilepas.

“Karena mayoritas surat utang dipegang asing, saat ditarik keluar akan dikonversi ke dalam dolar AS. Akibatnya, tekanan terhadap nilai tukar rupiah makin kuat,” paparnya.

Indikator-indikator yang diungkapkan tersebut, Herry menandaskan bahwa perekonomian Indonesia saat ini sangat rentan.

“Mudah masuk angin alias berisiko tinggi,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper