Bisnis.com, JAKARTA–Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memprotes keputusan pemerintah yang menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35% untuk tahun depan.
Wakil Ketua Umum PBNU Mochammad Maksum Mahfoedz meminta agar pemerintah mempertimbangkan dampak negatif bagi petani tembakau dan juga buruh pabrik tembakau akibat kebijakan tersebut.
“Jika ada pihak-pihak yang terdzalimi akibat kenaikan cukai tembakau, maka mereka tidak lain adalah petani dan buruh tani yang notabene masyarakat kecil, khususnya nadhliyin dan bukan perusahaan," ujar Maksum, Selasa (17/9/2019).
PBNU mencatat bahwa regulasi-regulasi yang ada baik berupa UU, PP, hingga Perda cenderung mendiskriminasi industri hasil tembakau.
Lebih lanjut, Maksum mengatakan aturan yang ada secara keseluruhan mulai dari hulu hingga hilir tidak ada yang memihak petani.
"Produksi pasti akan sangat mahal, para petani menghadapi pasar monopsoni, dan semua tunjangan tidak pernah menyentuh petani tembakau,” tambah Maksum.
PBNU juga turut menyorot rencana simplifikasi tarif CHT dan mengimbau kepada pemerintah untuk bijak terkait kebijakan penggabungan batasan produksi dan simplifikasi tarif CHT.
“PBNU menolak rencana penggabungan dan simplifikasi cukai karena akan berdampak luas kepada berbagai pihak, termasuk dalam kelompok pekerja pabrik, petani tembakau, buruh yang berjumlah 6,2 juta orang, serta konsumen tembakau itu sendiri yang adalah nahdliyin,” kata Maksum.
Untuk diketahui, salah satu pertimbangan peningkatan tarif CHT adalah prevalensi perokok secara global meningkat dari 32,8% menjadi 33,8%. Perokok usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2% menjadi 9,1%, perokok perempuan juga meningkat dari 1,3% menjadi 4,8%.
Selain masalah meningkatnya jumlah perokok, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pihaknya juga mempertimbangkan unsur tenaga kerja yakni petani tembakau dan cengkeh serta buruh industri rokok terutama sigaret kretek tangan (SKT).
Oleh karena itu, tarif CHT yang dikenakan atas industri SKT bakal lebih rendah dibandingkan dengan industri sigaret kretek mesin (SKM) yang notabene tidak menyerap tenaga kerja sebanyak industri SKT.